Pengertian Sindrom Down
Sindrom Down adalah gangguan genetika paling umum yang
menyebabkan perbedaan kemampuan belajar dan ciri-ciri fisik tertentu. Sindrom
Down tidak bisa disembuhkan, namun dengan dukungan dan perhatian yang
maksimal, anak-anak dengan sindrom Down bisa tumbuh dengan bahagia.
Data WHOmenyebutkan
bahwa angka kejadian Sindrom Down adalah 1 dari 1.000 kelahiran hidup di dunia.
Setiap tahunnya, diperkirakan ada setidaknya 3.000 hingga 5.000 bayi yang lahir
dengan kelainan kromosom ini. Menurut sebuah jurnal pediatri, pada tahun 2016 tercatat ada setidaknya 300 ribu
kasus Sindrom Down di Indonesia.
Gejala Sindrom Down
Sindrom Down bisa memengaruhi seseorang dalam berbagai cara
dan masing-masing akan mengalami kebutuhan perawatan dan sosial yang berbeda.
Ada beberapa ciri-ciri fisik yang sama pada anak-anak dengan
sindrom Down, namun karakteristik dari orang tua dan keluarga juga berperan
dalam penampilan fisik mereka.
Ciri-ciri fisik orang dengan sindrom Down yang paling umum
adalah sebagai berikut:
·
Berat dan panjang saat lahir di bawah rata-rata.
·
Berkurangnya tegangan otot seperti hipotonia.
·
Mata miring ke atas dan ke luar.
·
Telapak tangan hanya memiliki satu lipatan.
·
Hidung kecil dan tulang hidung rata.
·
Antara jari kaki pertama dan kedua terdapat
jarak yang luas.
·
Mulut kecil.
·
Tangan
lebar dengan jari-jari pendek.
·
Bertubuh pendek.
·
Leher pendek.
·
Kepala kecil dan datar di bagian belakang.
·
Lidah menonjol keluar.
·
Bentuk telinga tidak normal atau kecil.
·
Kelenturan otot berlebih.
·
Bintik putih pada selaput mata.
Anak-anak dengan sindrom Down juga memiliki tingkat
ketidakmampuan belajar dan hambatan pertumbuhan yang berbeda antara satu sama
lain.
Beberapa perkembangan penting kadang-kadang terkena
dampaknya, termasuk cara berbicara, berjalan, membaca, berkomunikasi, meraih
barang, berdiri, dan duduk. Dampak keterbelakangan mental seperti perilaku
impulsif, kesulitan dalam mengambil keputusan hingga kemampuan atensi minim
juga dapat terjadi.
Anak-anak dengan sindrom Down masih bisa tumbuh normal secara
kognitif dan sosial walau proses ini membutuhkan waktu lebih lama daripada anak
biasanya.
Penyebab Sindrom Down
Normalnya terdapat 46 kromosom dalam sel seseorang yang
diwariskan, yakni masing-masing 23 kromosom dari ayah dan ibu. Kromosom
merupakan kumpulan DNA dan mengandung petunjuk genetika rinci yang memengaruhi
faktor-faktor luas, seperti warna mata, jenis kelamin bayi, dan perkembangan
tiap sel tubuh.
Seseorang berpotensi mengalami sindrom Down jika kromosom
yang diturunkan mencapai 47. Perkembangan tubuh dan kinerja otak akan berubah
jika terdapat kromosom ekstra atau tidak normal.
Orang-orang dengan sindrom Down, semua atau beberapa sel
dalam tubuh mereka memiliki 47 kromosom karena terdapat satu salinan ekstra
dari kromosom 21. Material genetika tambahan ini menyebabkan ciri-ciri fisik
dan pertumbuhan yang terkait dengan sindrom Down.
Tipe – tipe Sindrom Down
Ada tiga tipe sindrom Down seperti yang disebutkan di bawah
ini.
·
Trisomy
21.
Ini adalah tipe yang paling umum terjadi dan dialami lebih dari 90 persen
penderita sindrom Down. Trisomy berasal dari kata Yunani yang berarti “salinan
ketiga”. Jika tiap sel di dalam tubuh memiliki salinan kromosom 21 ekstra,
orang itu disebut menderita sindrom Down Trisomy 21. Hal
ini dipicu dengan adanya kelainan pembagian sel saat proses perkembangan telur
atau sperma.
·
Translocation.
Ini adalah tipe yang diderita sekitar 4 persen penderita sindrom Down.
Tipe ini terjadi ketika kromosom 21 menempelkan dirinya secara keliru pada
kromosom lain. Gejala sindrom Down translocation
mirip dengan Trisomy 21. Translocation mungkin saja
diturunkan dari orang tua ke anak-anak mereka, meski hal ini jarang terjadi.
·
Mosaicism.
Ini
adalah tipe yang paling jarang terjadi di antara dua tipe sindrom Down lainnya,
dan hanya sekitar 2 persen orang yang terkena sindrom Down tipe ini. Mosaicism bisa dibilang versi lebih
ringan dari Trisomy 21 karena pada penderita
sindrom Down mosaicism, hanya sebagian kecil sel
yang memiliki salinan kromosom 21 ekstra. Orang dengan sindrom Down mosaicism umumnya mengalami
hambatan pertumbuhan yang lebih sedikit.
Faktor Resiko Sindrom Down
Faktor yang jelas meningkatkan risiko memiliki bayi dengan
sindrom Down adalah usia ibu saat mengandung. Wanita yang hamil di usia 20
tahun memiliki risiko 1 banding 1.500. Jika kehamilan tersebut ditunda 10
tahun, risikonya meningkat dan menjadi 1 banding 800. Dan jika ditunda 10 tahun
lagi sehingga hamil di usia 40 tahun, risikonya menjadi 1 banding 100. Namun,
hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya risiko tinggi untuk semua tahap
kehamilan.
Wanita diatas 35 tahun memiliki risiko tinggi melahirkan
anak dengan kondisi sindrom Down, khususnya jika sperma yang didapatkan adalah
dari pria berusia 40 tahun keatas. Wanita yang telah mempunyai anak dengan
sindrom Down juga lebih berisiko melahirkan bayi dengan kondisi ini pada
kehamilan berikutnya.
Selain faktor risiko usia, ada faktor lain yang bisa
meningkatkan risiko memiliki bayi dengan sindrom Down, di antaranya adalah
keturunan.
Walau jarang terjadi, sindrom Down
tipe translocation bisa diturunkan dari
orang tua ke anak. Jenis kelamin pembawa sindrom Down translocation memengaruhi
kemungkinan mewarisi kondisi ini pada anak.
·
Risiko sekitar 3 persen jika ayah menjadi
pembawa sindrom Down translocation.
·
Risiko antara 10 hingga 15 persen jika ibu yang
menjadi pembawa sindrom Down.
Diagnosis Sindrom Down
Kemungkinan seorang bayi terlahir dengan sindrom Down dapat
dideteksi dengan melakukan pemeriksaan dan pengujian antenatal. Sedangkan untuk
diagnosis, langkah ini bisa dilakukan saat janin masih berada di dalam
kandungan atau melalui tes darah setelah bayi dilahirkan.
·
Pemeriksaan
antenatal.
Pemeriksaan ini dilakukan guna memeriksa hal tidak normal yang mungkin
berkembang atau sudah berkembang selama kehamilan. Tes ini sama sekali tidak
mendiagnosis kondisi sindrom Down tapi digunakan untuk memperkirakan seberapa
tinggi risiko janin mengalami sindrom Down. Jika menurut pemeriksaan antenatal
ada kemungkinan cukup tinggi janin terkena sindrom Down, tes diagnosis bisa
dilakukan untuk mengonfirmasinya.
Tiap wanita hamil akan ditawari pemeriksaan kondisi genetika seperti
sindrom Down, khususnya bagi yang berpotensi. Umumnya pemeriksaan antenatal
dilakukan pada akhir bulan ketiga usia kehamilan.
Dalam pemeriksaan antenatal untuk sindrom Down, tes darah dan pemindaian
ultrasonografi (USG) akan dilakukan. Tes darah dilakukan untuk memeriksa
tingkat protein dan hormon tertentu. Jika darah Anda mengandung zat-zat ini
dalam tingkatan yang tidak normal, Anda mungkin berpeluang lebih tinggi
memiliki bayi dengan sindrom Down.
Dengan tes USG, dokter akan mengukur ketebalan cairan yang terletak di
belakang leher bayi. Jumlah cairan ini bisa memberi informasi mengenai
kemungkinan bayi mengalami sindrom Down.
Jika berdasarkan tes darah dan tes USG kemungkinan bayi mengalami sindrom
Down cukup tinggi, maka ibu hamil bisa menjalani tes diagnostik untuk
mengonfirmasi kondisi tersebut, sebelum bayi dilahirkan (prenatal).
·
Tes
diagnosis prenatal.
Tes yang dapat mendiagnosis sindrom Down pada bayi yang belum lahir
adalah amniocentesis, cordocentesis atau CVS (Chorionic
Villus Sampling).
Harap diperhatikan bahwa ada sekitar satu persen pasien yang menjalani
salah satu tes ini mengalami komplikasi keguguran. Selain keguguran, risiko
kedua tes tersebut juga meliputi infeksi dan pendarahan.
CVS dapat dilakukan setelah usia kehamilan memasuki 10 pekan dengan
mengambil sedikit sampel sel-sel plasenta untuk pemeriksaan lebih lanjut di
laboratorium.
Amniocentesis biasanya dilakukan setelah usia kehamilan memasuki 15
hingga 22 pekan dengan mengambil sedikit sampel air ketuban.
Cordocentesis adalah diagnosa yang dilakukan dengan mengambil sampel
darah janin melalui tali pusar guna memeriksa jumlah kromosom yang ada. Tes ini
biasa dilakukan dalam usia kehamilan diantara 18 hingga 22 minggu.
Selain itu, tes DNA cell-free fetal juga
dapat dilakukan pada minggu ke 10 kehamilan guna memeriksa lebih lanjut potensi
bayi terserang sindrom Down. Tes ini dianggap sebagai acuan terbaik untuk
memeriksa kondisi ini lebih lanjut, khususnya bagi ibu yang memiliki potensi
tinggi atau dicurigai adanya gejala tertentu setelah pemeriksaan sebelumnya.
·
Diagnosis
setelah kelahiran.
Selain tes diagnosis di atas, diagnosis juga bisa dilakukan setelah bayi lahir.
Umumnya, bayi yang lahir dengan Sindrom Down akan memiliki ciri fisik tertentu.
Namun pada beberapa kasus, ciri fisik ini tidak jelas sehingga dokter
memerlukan pemeriksaan tambahan yang disebut dengan chromosomal
karyotype.
Tes
ini bertujuan untuk menganalisa struktur kromosom dalam gen bayi yang baru
lahir. Apabila terdapat kromosom 21 tambahan pada beberapa atau seluruh sel,
maka bayi tersebut terdiagnosa menderita Sindrom Down.
Perawatan Sindrom Down
Dibutuhkan peran aktif seluruh anggota keluarga untuk
membantu penderita sindrom Down agar mendapatkan kehidupan senormal mungkin
karena sindrom Down tidak bisa disembuhkan.
·
Keluarga
dengan anak sindrom dwon.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan jika anak Anda menderita sindrom
Down, di antaranya adalah:
a.
Mengikuti grup atau organisasi edukasi
dan dukungan agar dapat bertukar informasi untuk membantu para orang tua,
keluarga, dan teman.
b.
Memiliki dan menjalani kehidupan keluarga yang
normal, serta keahlian mengasuh yang baik.
c.
Memiliki akses perawatan kesehatan yang baik,
termasuk menemui beberapa spesialis berbeda sesuai kebutuhan.
d.
Mengikuti berbagai program yang mendukung bagi
anak-anak penderita sindrom Down dan orang tua.
Ada dampak emosional yang pasti dirasakan oleh orang tua saat mengetahui
anaknya menderita sindrom Down, seperti merasa sedih, bingung, dan takut. Orang
tua sebaiknya mencari tahu lebih banyak tentang kondisi ini dan bicara dengan
pihak medis profesional dan orang tua lain untuk berbagi pengalaman agar
mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan dampak kehidupan yang mungkin mereka
alami.
Orang tua harus menemukan keseimbangan dalam mengasuh, tidak harus selalu
melakukan kegiatan yang mendidik, namun bisa juga melakukan kegiatan dalam
bentuk rekreasi atau bersenang-senang dengan keluarga.
Ingat, bahwa Anda tidak sendiri dalam situasi yang Anda hadapi ini. Anda
bisa berbagi informasi dan pengalaman dengan keluarga lain atau asosiasi
sindrom Down seperti Ikatan Sindrom
Down Indonesia.
·
Orang
dewasa dengan sindrom down.
Banyak orang dewasa dengan sindrom Down dapat menjalani kehidupan yang aktif
dan mandiri dengan bantuan dan dukungan. Dan tidak sedikit dari mereka yang
mengejar pendidikan lebih tinggi. Bahkan beberapa orang dengan sindrom Down
mendapatkan pekerjaan, biasanya paruh waktu.
Banyak orang dengan sindrom Down juga memiliki hubungan asmara, namun
mereka memerlukan bimbingan dan dukungan jika menyangkut hal seperti
kontrasepsi.
Penderita sindrom Down cenderung memiliki tingkat kesuburan lebih rendah.
Meski sulit, bukan berarti mereka tidak bisa memiliki anak. Wanita dengan
sindrom Down memiliki risiko keguguran dan lahir prematur lebih besar. Jika
salah satu dari ayah atau ibu memiliki sindrom Down, risiko anaknya mengalami
hal yang serupa adalah sekitar 50 persen.
Masih sulit untuk menghitung risiko anak terkena sindrom Down jika kedua
orang tuanya adalah penderita karena hal ini masih sangat jarang terjadi.
Bimbingan dan dukungan spesialis diperlukan bagi mereka yang memutuskan
untuk memiliki anak dalam mengatasi tuntutan fisik dan mental dari bayi yang
akan lahir nantinya.
Selain
itu, penderita sindrom Down harus aktif memeriksakan kondisinya ke dokter guna
memantau potensi masalah yang mungkin terjadi dan menghindari komplikasi lebih
lanjut.
Komplikasi Sindrom Down
Komplikasi mungkin terjadi saat lahir atau timbul di
kemudian hari karena semua organ di dalam tubuh bisa terkena dampak material
genetika ekstra.
Anak-anak dengan sindrom Down dapat mengalami komplikasi
atau masalah kesehatan berbeda-beda yang membutuhkan perawatan medis serta
perhatian ekstra. Beberapa komplikasi kesehatan yang dapat terjadi di
antaranya:
·
Masalah
Pencernaan.
Banyak orang dengan sindrom Down memiliki masalah pencernaan, seperti
diare, konstipasi, dan kesulitan mencerna. Diperkirakan terdapat sekitar 5-15
persen orang dengan sindrom Down menderita penyakit coeliac
(tidak dapat mengonsumsi gluten).
·
Demensia.
Orang dengan sindrom Down memiliki kecenderungan terkena demensia di usia
muda dibandingkan populasi pada umumnya dan lebih berisiko terkena penyakit Alzheimer.
·
Masalah
penglihatan.
Sekitar setengah penderita sindrom Down memiliki masalah dengan
penglihatan mereka, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, juling, nystagmus,
ambliopi, dan konjungtivitis.
·
Leukemia.
Sebagian kecil anak-anak dengan sindrom Down menderita leukemia akut.
·
Gangguan
jantung.
Sekitar setengah dari pasien anak-anak dengan sindrom Down menderita
gangguan jantung bawaan dan lebih dari setengahnya membutuhkan perawatan di
rumah sakit hingga operasi.
·
Infeksi.
Orang dengan sindrom Down lebih rentan terkena infeksi, terutama infeksi
paru-paru (pneumonia). Sistem
kekebalan tubuh alami bisa melawan infeksi jika berkembang dengan baik, namun
orang dengan sindrom Down tidak memiliki sistem kekebalan tubuh alami yang
baik.
·
Masalah
kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid berfungsi untuk mengendalikan metabolisme dengan
melepaskan hormon tiroid ke dalam tubuh. Orang dengan sindrom Down memiliki
risiko lebih tinggi terkena masalah kelenjar tiroid. Kebanyakan penderita
sindrom Down mengalami hipotiroidisme dan memiliki gejala, seperti bertambahnya
berat badan, reaksi fisik dan mental yang lamban, serta lemas.
·
Masalah
pendengaran.
Kurang lebih sekitar setengah penderita sindrom Down memiliki masalah
dengan telinga dan pendengaran. Umumnya mereka mengalami radang telinga tengah
yang disebabkan oleh kelebihan cairan.
·
Apnea
Tidur.
Penderita sindrom Down, baik anak-anak maupun dewasa, memiliki risiko
gangguan sleep apnea lebih besar karena
jalur udara terhalang akibat perubahan jaringan lunak dan kerangka.
·
Masalah
lainnya.
Penderita sindrom Down mungkin dapat mengalami komplikasi masalah lainnya
seperti obesitas, menopause
dini, kejang, dan masalah kulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar