Minggu, 30 Juli 2017

DIABETES GESTASIONAL



Pengertian Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi saat kehamilan dan biasanya hanya berlangsung hingga proses melahirkan. Diabetes gestasional yang menyerang 9,2 persen wanita hamil ini umumnya terjadi di antara minggu ke-24 hingga 28 kehamilan, walau tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di minggu manapun.

Tidak berbeda dengan diabetes pada umumnya, diabetes gestasional terjadi ketika produksi insulin tidak mencukupi untuk mengontrol kadar glukosa tubuh pada saat kehamilan. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah ini dapat membahayakan ibu dan anak, namun risiko tersebut dapat ditekan jika ditangani dengan cepat dan tepat.

Penyebab diabetes gestasional belum diketahui secara pasti, namun faktor yang sering memicu adalah perubahan hormon. Saat hamil, plasenta akan memproduksi hormon tambahan seperti hormon estrogen, HPL (human placental lactogen), dan hormon yang meningkatkan resistensi insulin. Seiring berjalannya waktu, hormon-hormon tersebut akan meningkat dan mempengaruhi kinerja insulin.

Semakin tinggi pengaruh hormon terhadap insulin, kadar gula dalam darah pun akan meningkat dan hal ini meningkatkan risiko terkena diabetes gestasional. Selain itu, seorang wanita juga berisiko terkena penyakit jika sudah memasuki usia 25 tahun ke atas saat hamil, memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi), memiliki keluarga dengan sejarah diabetes, kelebihan berat badan sebelum hamil (BMIdi atas 25), pernah melahirkan bayi di atas 4.5 kg, pernah keguguran, pernah mengalami diabetes gestasional sebelumnya, atau faktor ras seperti keturunan Afrika – Amerika, Asia, Hispanik, Amerika asli, Timur Tengah atau Afrika-Karibia.

Gejala Diabetes Gestasional

Tidak semua wanita hamil dapat merasakan gejala diabetes gestasional, namun gejala tersebut dapat dirasakan saat gula darah melonjak tinggi (hiperglikemia), seperti:

·         Sering merasa haus.

·         Sering buang air kecil.

·         Mulut terasa kering.

·         Mudah merasa lelah.

·         Penglihatan buram.

Namun, tidak semua gejala yang tertera mengindikasikan kondisi diabetes gestasional. Bicarakan dengan dokter untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi yang dialami.

Diagnosis Diabetes Gestasional

Pada umumnya, dokter akan melakukan tes fisik dan menanyakan beberapa hal seperti gejala yang dialami, lamanya gejala, riwayat medis pribadi dan keluarga (khususnya diabetes), kondisi yang dialami pada kehamilan sebelumnya, adanya kenaikan atau penurunan berat badan drastis dan berat badan bayi dari kehamilan sebelumnya. Jika dokter merasa gejala yang dialami mengarah pada penyakit diabetes gestasional, serangkaian tes mungkin akan disarankan, seperti:

·         Tes toleransi glukosa oral (TTGO) awal.

Dalam tes ini, dokter akan memeriksa kadar glukosa dalam darah 1 jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi cairan sirup gula yang diberikan dokter. Jika hasil tes tersebut di atas 130 – 140 ml/dL, dokter mungkin akan menyarankan untuk melakukan tes toleransi glukosa oral lanjutan.

·         Tes toleransi glukosa oral (TTGO) lanjutan.

Dalam tes ini, pasien diminta untuk berpuasa semalaman sebelum menjalani pemeriksaan darah di pagi hari. Setelah darah pertama diambil, dokter akan memberikan cairan sirup dengan kadar gula lebih dibanding TTGO awal. Setelah itu, pengambilan darah akan dilakukan setiap jam selama 3 kali. Jika terdapat 2 hasil dengan kadar yang tinggi, pasien tersebut mungkin akan didiagnosa diabetes gestasional.

Sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah pada awal kehamilan jika memiliki gejala atau kondisi yang berisiko tinggi. Pasien yang sudah didiagnosa mengindap diabetes gestasional biasanya disarankan untuk melakukan pemeriksaan rutin, khususnya pada 3 bulan terakhir kehamilan.
Pemeriksaan pada bayi juga mungkin akan dilakukan untuk memastikan bayi mendapatkan oksigen dan nutrisi yang tepat dalam rahim. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan pasca melahirkan pada kedua ibu dan bayi mungkin dilakukan untuk mendeteksi adanya risiko lanjutan.

Pengobatan Diabetes Gestasional

Demi kesehatan ibu dan bayi, terdapat beberapa langkah pengobatan yang biasa disarankan dokter, meliputi:

·         Memonitor kadar glukosa dalam darah.

Untuk menghindari komplikasi lebih lanjut, dokter mungkin akan menganjurkan untuk memeriksa darah secara rutin, seperti 4 hingga 5 kali sehari, agar dapat dimonitor dengan baik. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan suntikan jari kecil (lanset) dan kadar glukosa dideteksi langsung menggunakan alat khusus. Jika diperlukan, dokter mungkin akan menyarankan untuk menyuntik atau mengkonsumsi insulin agar kadar glukosa terjaga hingga melahirkan.

·         Pemeriksaan ultrasound.

Selain ibu, dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan rutin bayi dengan bantuan ultrasound untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan bayi. Selain itu, dokter juga dapat melihat Perkiraan Hari Lahir (PHL) sang bayi dan jika ibu tidak melahirkan sesuai dengan waktu yang diperkiraan, dokter dapat langsung mengambil tindakan secepatnya, seperti induksi atau operasi caesar. Dalam kasus tertentu, dokter mungkin akan menyarankan untuk melahirkan sebelum waktunya untuk menghindari komplikasi lanjutan.

·         Diet sehat.

Bagi ibu hamil, khususnya yang didiagnosa penyakit diabetes gestasional, mengatur pola diet sehat sangat penting dilakukan, seperti mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, hingga makanan dengan asupan serat, nutrisi dan rendah lemak. Penurunan berat badan sata hamil biasa tidak disarankan, namun hal ini dapat dilakukan saat merencanakan kehamilan. Bicarakan dengan dokter untuk mengetahui diet dan kadar nutrisi yang tepat untuk kondisi Anda.

·         Olahraga.

Selain menjaga asupan makanan, olahraga juga kerap menjadi hal yang patut diperhatikan sebelum, saat dan setelah hamil. Dengan melakukan olahraga teratur, tubuh akan menstimulasi pemindahan glukosa menuju sel dan mengubahnya menjadi tenaga. Selain itu, olahraga juga dapat meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin sehingga kadar gula dalam darah lebih terkontrol. Sebagai tambahan, dokter biasanya menyarankan beberapa olahraga khusus untuk membantu mengurangi rasa tidak nyaman saat hamil seperti sakit punggung, kram otot, pembengkakan, konstipasi, kesulitan tid ur hingga mempersiapkan pasien melewati masa melahirkan kelak.

Komplikasi Diabetes Gestasional

Pada umumnya, wanita hamil yang mengindap penyakit diabetes gestasional melahirkan bayi yang sehat. Namun, jika kondisi ini tidak ditangani dengan tepat, ada beberapa komplikasi dapat terjadi pada bayi saat lahir, seperti:

·         Kelebihan berat badan yang disebabkan oleh kadar glukosa berlebih dalam darah (macrosomia).

·         Lahir prematur yang mengakibatkan bayi kesulitan bernafas (respiratory distress syndrome). Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang lahir tepat waktu.

·         Lahir dengan gula darah rendah (hipoglikemia) karena produksi insulin yang tinggi. Kondisi ini juga dapat mengakibatkan kejang pada bayi, namun dapat ditangani dengan memberinya asupan gula.

·         Berisiko mengalami obesitas dan diabetes tipe-2 saat dewasa.

Selain bayi, ibu yang baru melahirkan pun juga berpotensi mengalami komplikasi, seperti:

·         Kondisi hipertensi atau preeklamsia yang dapat membahayakan nyawa ibu juga bayi.
·         Berpotensi terserang diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya atau mengindap diabetes tipe-2 setelah jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi asupan tinggi serat dan nutrisi.

Komplikasi yang terjadi harus segera ditangani untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjutan ataupun kematian, khususnya pada bayi.

Pencegahan Diabetes Gestasional

Hingga saat ini, belum ada kepastian jika diabetes gestasional dapat dicegah sepenuhnya, namun ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan risiko terkena penyakit ini, meliputi:

·         Rutin mengonsumsi makanan dengan asupan nutrisi dan tinggi serat, seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan biji-bijian. Biasakan untuk mengatur porsi seimbang dan mengurangi makanan dengan kandungan lemak atau kalori berlebih.

·         Olahraga teratur untuk menjaga kebugaran tubuh sebelum dan saat hamil. Disarankan untuk berolahraga ringan hingga sedang seperti berenang, jalan cepat atau bersepeda setidaknya 30 menit per hari. Jika tidak memungkingkan, lakukan olahraga singkat namun berkala untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti berjalan kaki atau melakukan pekerjaan rumah.

·         Mengurangi berat badan saat berencana hamil dengan menganut pola makan sehat untuk efek jangka panjang yang lebih baik.

·         Lakukan pemeriksaan lengkap sebelum merencanakan kehamilan untuk memastikan kondisi tubuh prima.
           



DEEP VEIN THROMBOSIS



Pengertian Deep Vein Thrombosis

Deep vein thrombosis (DVT) atau trombosis vena dalam adalah penggumpalan darah yang terjadi di dalam pembuluh darah vena dalam. Kondisi ini umumnya muncul pada pembuluh vena besar yang terdapat di bagian paha dan betis.

Trombosis vena juga dapat muncul di pembuluh darah vena lainnya, seperti lengan dan dapat menyebar hingga ke paru-paru. DVT yang menyerang paru-paru ini dapat menyumbat separuh atau seluruh bagian dari arteri paru dan menyebabkan timbulnya komplikasi berbahaya bernama emboli paru (pulmonary embolism/PE) dan venous thromboembolism (VTE).

Penyebab Deep Vein Thrombosis

Darah manusia terdiri dari protein bernama faktor pembeku dan sel-sel yang bernama trombosit. Kedua komponen ini bekerja dengan cara membentuk gumpalan padat guna mencegah terjadinya pendarahan saat pembuluh darah Anda terluka. Kombinasi dari lambatnya alliran darah pada pembuluh darah, aktivasi pembekuan darah, dan jejas pada pembuluh darah, menjadikan terbentuknya trombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat aliran darah sehingga memicu DVT.

Terdapat banyak faktor risiko yang dapat menjadi penyebab DVT, salah satunya adalah  adanya penderita penyakit ini di dalam riwayat keluarga. Penderita VTE serta penderita yang mempunyai penyakit lain, seperti gagal jantung dan kanker, juga memiliki risiko terkena DVT kembali. Usia dan berat badan juga dapat berdampak kepada seseorang untuk mengidap DVT atau tidak. Begitu pula seseorang yang kondisi tubuhnya sedang tidak aktif dapat memicu DVT.

Tubuh yang tidak bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan darah cenderung berkumpul pada tungkai bawah, seperti pada betis dan paha. Kondisi ini biasa dialami oleh seseorang setelah melalui prosedur operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit atau berlangsung 60 menit untuk operasi yang dilakukan pada area perut, pinggul, dan tungkai. Begitu pula bisa diakibatkan oleh perawatan yang mengharuskan pasien tetap berbaring di tempat tidur. Melakukan perjalanan panjang dapat membuat tubuh berada dalam keadaan tidak aktif untuk waktu lama juga. Keadaan ini dapat menyebabkan melambatnya aliran darah hingga meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah. Pada kasus pasien rawat inap yang membutuhkan prosedur operasi panjang, rumah sakit umumnya akan memberikan informasi mengenai risiko dan tindak pencegahan DVT diawal.

Kemoterapi dan radioterapi yang digunakan untuk mengobati kanker serta pengobatan penyakit yang disebabkan oleh kondisi medis atau genetik lainnya dapat menambah risiko DVT pada pasien. Selain kemoterapi, kondisi seperti vaskulitis dan varises vena juga bisa menambah risiko DVT pada penderitanya. Kerusakan pembuluh darah yang disebabkan oleh kondisi ini membuat pembuluh darah menyempit atau tersumbat sehingga dapat memicu terjadinya penggumpalan darah. Penyakit-penyakit seperti jantung, paru-paru, hepatitis, serta penyakit yang disebabkan oleh peradangan, seperti rheumatoid arthritis juga memudahkan terjadinya penggumpalan darah. Begitu pula dengan kondisi genetik, seperti thrombophilia dan sindrom Hughes.

Faktor risiko lainnya adalah kehamilan, pil kontrasepsi, dan terapi sulih hormon atau hormone replacement therapy (HRT) pada terapi hormon estrogen. Kondisi ini memungkinkan darah menggumpal lebih mudah. Pada faktor kehamilan, penggumpalan darah dapat membantu mencegah pasien kehilangan banyak darah selama proses persalinan, namun turut meningkatkan risiko DVT.
Penderita obesitas, lansia dengan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk melakukan banyak kegiatan, serta perokok, dan kondisi dehidrasi juga merupakan penyebab lain dari penyakit DVT. 

Gejala Deep Vein Thrombosis

DVT dapat menyerang area tungkai dan lengan. Pada sebagian kondisi, DVT dapat menunjukkan gejalanya di daerah yang terjangkit sehingga pasien dapat merasakan sakit, pembengkakan, sekaligus nyeri pada area tersebut. Warna kulit yang kemerahan serta rasa hangat dapat terasa, seperti di area belakang lutut disertai rasa sakit yang makin menjadi-jadi ketika Anda menekuk kaki mendekati lutut. Gejala yang muncul juga dapat terlihat dari pembuluh darah di sekitar area yang terjangkit tampak lebih besar dari biasanya.

Salah satu komplikasi akibat DVT yang tidak segera memperoleh perawatan adalah kemunculan sebuah kondisi yang bernama emboli paru. Kondisi ini memiliki gejala, seperti sakit dada, sesak napas yang muncul secara bertahap atau tiba-tiba, serta mendadak pingsan. Baik salah satu maupun keduanya, gejala DVT dan emboli paru sebaiknya segera ditangani agar tidak memperburuk kondisi pasien. DVT juga berkemungkinan tidak menunjukkan gejala sehingga perlu diwaspadai dan diselidiki tanda-tanda yang muncul pada seseorang yang memiliki risiko terkena penyakit ini. 

Diagnosis Deep Vein Thrombosis

Berdasarkan gejala di atas, dokter dapat menyarankan pasien untuk melalui beberapa pemeriksaan fisik guna memperoleh diagnosis dan rencana pengobatan yang sesuai. Selain pemeriksaan fisik, dokter juga akan bertanya mengenai sejarah penyakit dalam keluarga untuk menyelidiki jejak DVT. Pemeriksaan fisik berupa tes laboratorium juga mungkin dilakukan, seperti tes ultrasound, D-dimer, dan venogram.

Pemindaian Ultrasound tipe Doppler akan digunakan pada tes pemeriksaan untuk menemukan letak gumpalan darah berada pada pembuluh dan seberapa cepat laju aliran darah. Dengan mengetahui kedua faktor ini, letak dan penyebab penggumpalan dapat segera dideteksi.

Tes darah khusus yang bernama D-dimer dapat dilakukan mengidentifikasi gumpalan darah yang telah terurai kemudian memasuki aliran darah. Makin banyak gumpalan yang ditemukan maka makin besar pula kemungkinan telah terjadi penggumpalan darah di dalam pembuluh darah pasien.

Tes venogram dapat juga dilakukan jika kedua tes di atas belum bisa membantu dokter dalam menentukan atau memperkuat diagnosis DVT. Tes ini menggunakan bantuan pewarna dan X-ray untuk mengetahui letak penggumpalan darah. Dalam venogram, pewarna akan disuntikkan ke  pembuluh darah kaki. Pewarna ini kemudian mengalir ke pembuluh darah lain di area pasien merasakan gejala DVT. Jika penggumpalan terjadi di area betis, maka hasil X-ray akan menunjukkan area kosong pada betis. Hal ini dikarenakan pewarna tidak dapat mengalir melewati pembuluh darah betis yang memiliki gumpalan. 

Pengobatan Deep Vein Thrombosis

Pengobatan DVT dapat diberikan dengan metode yang berbeda bergantung kepada kondisi tubuh pasien serta penyakit yang diderita. Pasien yang sedang hamil pun akan mendapatkan perawatan yang berbeda, termasuk tipe obat antikoagulan (pencegah kebekuan darah) yang diberikan. Sebuah stocking medis atau stocking kompresi juga dapat digunakan oleh pasien DVT untuk membantu mencegah terjadinya pembekuan darah.

Selain mencegah terjadinya penggumpalan darah, obat antikoagulan juga bisa membantu menghentikan gumpalan darah menyebar ke aliran darah lainnya serta menyebabkan munculnya gumpalan darah lain. Heparin dan warfarin adalah dua jenis obat antikoagulan yang umumnya digunakan untuk mengobati DVT. Heparin biasanya diberikan terlebih dahulu untuk mencegah pembekuan darah seketika. Pemberian warfarin juga umumnya dilakukan setelah pasien diberikan heparin untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah lanjutan.

Pemberian heparin dapat dilakukan dengan cara menyuntikannya langsung pada pembuluh vena ataupun lapisan jaringan di bawah kulit, dapat pula melalui cairan infus. Dosis heparin juga dapat berbeda-beda pada tiap pasien dan pemberiannya harus dimonitor agar pasien menerima dosis yang tepat, menjadikan kemungkinan pasien harus berada di rumah sakit hingga 10 hari. Seperti halnya pengobatan lain pada umumnya, penggunaan heparin juga dapat menimbulkan efek samping tertentu, seperti ruam, pendarahan, dan kelemahan tulang pada pemakaian jangka panjang.

Dokter Anda dapat merekomendasikan warfarin sebagai pengobatan lanjutan dari heparin. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dan dapat dikonsumsi hingga enam bulan atau lebih, tergantung anjuran dari dokter. Warfarin tidak dianjurkan untuk perempuan hamil yang sedang dalam pengobatan heparin untuk jangka waktu lama. Jagalah kondisi kesehatan Anda selama mengonsumsi warfarin dan pastikan jadwal konsultasi dokter tidak terluput dari jadwal yang sudah ditentukan hingga Anda mendapatkan dosis warfarin yang reguler.

Penggunaan stocking kompresi juga bisa membantu mencegah terbentuknya luka dan sindrom paska DVT, yaitu kerusakan jaringan betis akibat peningkatan tekanan vena. Stocking kompresi digunakan tiap hari selama dua tahun atau hingga waktu yang ditentukan dan pengukurannya harus dimonitor dan diperbarui tiap 3-6 bulan. Stocking ini dapat dilepas menjelang tidur atau ketika pasien sedang melakukan postur istirahat dengan tungkai terangkat, serta ketika pasien sedang melakukan latihan fisik reguler.

Latihan fisik yang mungkin direkomendasikan kepada pasien DVT adalah berjalan. Beristirahat dengan tungkai yang terangkat juga disarankan agar kaki berada lebih tinggi dari pinggang demi mengembalikan aliran darah dari betis.

Alternatif pengobatan lain dapat juga diberikan jika penggunaan obat antikoagulan tidak memberikan hasil yang sesuai bagi pasien. Inferior vena cava filters (IVC) ditempatkan pada pembuluh darah untuk menyaring gumpalan darah dan menghentikannya mengalir menuju jantung dan paru-paru. IVC dapat dipasang secara permanen atau dilepaskan setelah penggumpalan darah berkurang. Keduanya dilakukan dengan menggunakan prosedur operasi dengan bius lokal. IVC juga dapat digunakan pada pasien penderita emboli paru dan pada kondisi cedera parah. 

Komplikasi  Deep Vein Thrombosis

Beberapa komplikasi DVT yang tidak segera ditangani selain penyakit emboli paru yang telah disebutkan sebelumnya adalah sindrom paska trombosis. Kondisi ini menyebabkan sumbatan pada salah satu pembuluh darah di paru.

Pencegahan Deep Vein Thrombosis

DVT dapat dicegah dengan memulai pola hidup sehat, seperti olahraga ringan agar tubuh tetap bergerak dan sirkulasi darah tetap terjaga, pola diet sehat, mengurangi berat badan bagi penderita obesitas, serta jangan merokok.

Bagi Anda yang memiliki risiko DVT dan merencanakan perjalanan panjang, pastikan Anda telah memberitahukan rencana tersebut kepada orang terdekat maupun dokter. Pastikan juga Anda memiliki perlindungan kesehatan perjalanan yang aktif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan berlangsung. Beberapa kegiatan yang sebaiknya dilakukan atau diperhatikan selama perjalanan, seperti perbanyak minum air putih dan sebisa mungkin hindari minuman beralkohol karena dapat menyebabkan dehidrasi. Tindakan pencegahan lainnya bisa dilakukan dengan menghindari konsumsi pil tidur, perbanyak gerak badan dan tungkai, berjalan singkat jika memungkinkan, dan gunakan stocking kompresi elastis.

Sabtu, 29 Juli 2017

CROUP



Pengertian Croup

Croup adalah salah satu jenis infeksi saluran pernapasan yang umumnya dialami anak-anak berusia enam bulan hingga tiga tahun namun dapat juga menyerang anak-anak yang berusia lebih tua. Croup umumnya disebabkan oleh virus yang menjangkiti laring atau kotak suara dan trakea atau batang tenggorokan, keduanya merupakan jalan masuk udara ke paru-paru. Infeksi pada saluran pernapasan atas ini mengakibatkan suara batuk yang khas seperti menggonggong.

Penyebab Croup

Penyebab umum croup adalah virus parainfluenza. Dibandingkan virus-virus parainfluenza lain yang berada di dalam keluarganya, virus parainfluenza I merupakan tipe virus yang paling banyak menyebabkan croup. Virus ini menyebar melalui sentuhan dengan orang, benda, atau permukaan apa pun yang telah terkontaminasi. Virus ini juga dapat menyebar melalui udara, melalui bersin, dan batuk. Beberapa virus lain yang dapat memicu croup adalah virus flu (influenza  A dan B), campak, pilek (rhinovirus), enterovirus (penyebab penyakit tangan, kaki, dan mulut), dan RSV (penyebab pneumonia pada bayi).

Croup dapat dialami lebih dari satu kali selama masa anak-anak dan umumnya terjadi di saat yang sama dengan merebaknya flu dan pilek. Anak laki-laki lebih banyak terkena penyakit ini dibandingkan anak perempuan. Infeksi virus menyebabkan pembengkakan pada laring dan penyumbatan pada trakea yang dapat berpengaruh juga kepada paru-paru.

Selain infeksi virus, infeksi bakteri juga dapat menjadi penyebab. Beberapa kondisi lain juga bisa memicu croup, seperti tanpa sengaja menghirup benda atau zat yang kecil (misalnya kacang), peradangan pada area epiglotis (epiglotitis), dan alergi. Menghirup zat kimia turut dapat menyebabkan peradangan dan memicu kondisi croup, begitu juga dengan keadaan keluarnya asam dari perut menuju tenggorokan atau acid reflux

Gejala Croup

Beberapa gejala yang menyerupai flu dapat dialami anak beberapa hari sebelum timbulnya gejala croup, seperti hidung beringus, sakit tenggorokan, batuk, dan demam yang dapat berlangsung hingga beberapa hari.

Gejala umum croup yang kemudian menyertai kondisi ini, antara lain kesulitan bernapas, suara yang serak, suara batuk seperti menggonggong yang keras, dan suara kasar bernada tinggi saat menghirup napas. Suara dan gejala ini akan lebih mudah terdengar dan bertambah buruk saat anak menangis atau ketika mereka tidur di malam hari. Gejala ini dapat berlangsung beberapa hari hingga dua minggu.
Segera temui dokter jika anak Anda mengalami gejala yang lebih serius, seperti sesak napas dengan jarak mengambil napas yang terlalu dekat sehingga anak susah berbicara maupun makan atau minum. 

Dengarkan suara dada anak untuk mengecek suara napas, irama detak jantung yang bertambah cepat atau sebaliknya. Perhatikan anak yang menjadi resah, mudah merasa terganggu, serta selalu merasa lelah dan mengantuk. Batuk yang bertambah parah, demam, kulit yang berubah warna menjadi membiru atau pucat, serta tulang dada dan rusuk yang makin terlihat  juga bisa dianggap sebagai gejala yang membutuhkan tindakan medis secepatnya.

Pemeriksaan tenggorokan anak yang dilakukan sendiri sangat tidak disarankan karena dapat berdampak buruk kepada saluran udara dan menambah pembengkakan yang membuat bernapas menjadi makin sulit. Bawalah anak ke dokter untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang sesuai dengan gejala yang dialaminya. 

Diagnosis Croup

Mempelajari gejala dan mengecek kondisi fisik pasien, seperti suara batuk dan suhu badan, dapat dilakukan untuk mempersempit dugaan penyebab croup. Dokter mungkin akan melakukan sebuah tes untuk mengetahui kadar oksigen di dalam darah (pulse oxymetry) serta memastikan keperluan perawatan di rumah sakit atau di rumah.

Beberapa gangguan lain, seperti gangguan pada saluran udara, abses pada jaringan tenggorokan, dan reaksi alergi memiliki gejala yang serupa dengan croup. Untuk itu beberapa tes tambahan, seperti pemindaian dada atau trakea bagian atas, mungkin dilakukan untuk mengesampingkan faktor yang bukan penyebab kondisi ini. 

Pengobatan Croup

Pemberian cairan yang cukup diperlukan dalam menangani croup ringan di rumah untuk mencegah dehidrasi pada anak. Air putih, ASI, atau susu formula dapat diberikan pada anak bayi maupun anak yang lebih besar. Buatlah anak merasa nyaman dan tenang karena menangis dapat menambah parah gejala kondisi ini. Dokter dapat memberikan jenis obat kortisteroid oral yang akan membantu meredakan pembengkakan di tenggorokan dan parasetamol khusus anak untuk meredakan demam serta rasa sakit yang muncul.

Perhatikan efek samping akibat pemberian obat-obatan ini, seperti gelisah, pusing, gangguan pada perut, dan muntah. Obat-obatan ini juga tersedia dalam bentuk cairan dan dapat diperoleh secara bebas di apotek atau supermarket. Jangan berikan obat batuk atau dekongestan karena dapat membahayakan kondisi anak yang sedang mengalami kesulitan bernapas. Anak yang berusia di bawah 16 tahun sebaiknya tidak diberikan aspirin. Bicarakan bersama dokter atau apoteker mengenai jenis obat yang sesuai untuk kondisi dan usia anak Anda.

Anak yang terus mengalami gangguan pernapasan sebaiknya segera diperiksakan ke dokter karena dapat memerlukan penanganan lebih lanjut di rumah sakit. Suntikan adrenalin melalui nebulizer dapat mengurangi gejala croup yang makin parah. Anak akan menghirup obat dalam bentuk titik-titik air kecil.

Pada kasus lainnya, anak dapat memerlukan intubasi, yaitu dimasukannya sebuah selang melalui lubang hidung atau mulut hingga melewati trakea untuk mempermudah pernapasan. Proses ini membutuhkan pembiusan umum agar anak tidak merasa takut dan sakit.

Kasus kematian anak akibat croup sangat jarang ditemukan karena pada sebagian besar kasus, kondisi ini akan membaik dengan sendirinya dalam waktu 48 jam. Gejala croup dapat berlangsung hingga dua minggu dan jika tidak segera diobati croup dapat menimbulkan komplikasi seperti infeksi telinga bagian tengah atau pneumonia. Jika setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit kondisi anak tidak kunjung membaik, dokter dapat merekomendasikan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari kemungkinan gangguan lain, misalnya pemeriksaan X-ray di area leher dan dada. 

Komplikasi Croup

Walau jarang, croup dapat menyebabkan gangguan saluran napas yang berujung pada gangguan napas berat, bahkan gagal napas. Kondisi gagal napas ditandai dengan terhentinya pernapasan, namun jantung tetap berdetak.

Komplikasi lainnya adalah peradangan pada salah satu atau kedua jaringan paru-paru yang dikenal dengan penyakit pneumonia. Infeksi lainnya adalah bakteri trakeitis (peradangan pada trakea), infeksi telinga tengah, dan lymphadenitis (peradangan pada kelenjar getah bening). 

Pencegahan Croup

Menjaga kebersihan serta menjauhkan anak dari penderita lainnya adalah hal utama dalam pencegahan penyebaran croup. Seperti halnya flu, penyakit ini dapat menyebar dengan mudah jika 

Anda tidak rajin membiasakan anak untuk rajin mencuci tangan. Anjurkan anak untuk mengarahkan bersin ke area siku untuk mengurangi risiko penularan virus ke orang lain. Selain itu, vaksinasi rutin juga menjadi satu cara lain melindungi anak dari jenis infeksi pemicu kondisi croup. Beberapa vaksin anak yang memiliki pencegahan ini, antara lain vaksin MMR untuk perlindungan dari campak, campak jerman atau rubella, dan gondongan. Lalu vaksin DtaP/IPV/Hib untuk perlindungan dari tetanus, polio, difteri, batuk rejan, dan Haemophilus influenzae type b penyebab pneumonia.