Pengertian Craniosynostosis
Tulang tengkorak bukan satu tulang utuh yang berdiri sendiri, melainkan gabungan dari tujuh lempeng tulang yang berbeda. Ketujuh tulang itu dihubungkan satu sama lain oleh jaringan elastis kuat yang disebut sutura.
Sutura memungkinkan tulang tengkorak bisa mengembang mengikuti pertumbuhan volume otak. Seiring berjalannya waktu, sutura semakin mengeras dan akhirnya menutup, menyatukan ketujuh lempeng tulang itu menjadi tulang tengkorak yang utuh.
Seorang bayi dikatakan mengalami craniosynostosis jika satu atau beberapa jaringan sutura menutup lebih cepat dari kondisi normal. Akibatnya, otak bayi tersebut tidak bisa berkembang dengan maksimal karena terhambat oleh tulang tengkorak. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan munculnya beberapa gangguan dan kelainan.
Craniosynostosis merupakan penyakit yang langka. Sekitar 75 persen pengidap craniosynostosis adalah anak lelaki. Berdasarkan sutura yang mengalami kelainan, craniosynostosis dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
·
Sagittal.
Ini
adalah jenis craniosynostosis yang paling sering ditemukan. Sesuai
namanya, gangguan ini terjadi di bagian sagittal suture, yang
membentang dari depan ke belakang tengkorak bagian atas (fontanelles).
Gangguan ini menyebabkan kepala tumbuh memanjang dan agak pipih.
·
Coronal.
Coronal suture
membentang dari telinga kanan dan kiri ke bagian atas tengkorak. Gangguan pada
bagian ini bisa menyebabkan bentuk dahi menjadi tidak seimbang. Bagian yang
terganggu tampak rata, sedangkan bagian yang tidak terganggu tampak menonjol.
·
Metopic.
Metopic suture
membentang dari hidung melalui garis tengah dahi hingga ke ubun-ubun dan
terhubung dengan sagittal suture di bagian atas tengkorak. Kondisi ini
menyebabkan dahi membentuk segitiga dengan bagian belakang kepala melebar.
·
Lambdoid.
Kondisi
ini terjadi di lambdoid suture, yang membentang dari kanan ke kiri di
bagian belakang tengkorak. Hal ini menyebabkan sebagian sisi kepala bayi
terlihat datar dan posisi salah satu telinga lebih tinggi dari telinga yang
lain. Craniosynostosis lambdoid sangat jarang ditemukan.
Gejala Craniosynostosis
Tanda-tanda craniosynostosis biasanya sudah
tampak saat bayi lahir, dan semakin terlihat jelas setelah beberapa bulan.
Tanda-tanda tersebut antara lain:
·
Ubun-ubun (fontanelles) pada
bagian atas kepala bayi tidak terlihat.
·
Bentuk tengkorak bayi terlihat aneh
(tidak proporsional).
·
Munculnya ICP atau peningkatan tekanan
di dalam tengkorak bayi.
·
Kepala bayi tidak berkembang sejalan
dengan pertambahan usia.
Pada sebagian kasus, craniosynostosis
menyebabkan adanya gangguan atau kerusakan pada otak, serta menghambat proses
pertumbuhan secara umum. Keluhan-keluhan yang menandai gangguan ini adalah:
·
Muntah, spontan tanpa didahului rasa
mual.
·
Gangguan pendengaran.
·
Mata bengkak atau sulit digerakkan.
·
Lebih sering tidur dan jarang bermain.
·
Suara napas keras dan tidak teratur.
·
Lebih mudah menangis dibanding biasanya.
Penyebab Craniosynostosis
Penyebab pasti craniosynostosis
belum diketahui pasti, tapi terkadang kondisi ini berhubungan dengan kelainan
genetik. Berdasarkan kaitannya dengan kelainan genetik lain, craniosynostosis
dibagi dua, yaitu nonsyndromic craniosynostosis dan syndromic
craniosynostosis.
Nonsyndromic craniosynostosis adalah jenis yang paling umum, penyebabnya tidak diketahui
namun diduga merupakan kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan.
Sedangkan syndromic craniosynostosis berkaitan dengan sindrom genetika
tertentu, misalnya sindrom Apert, sindrom Pfeiffer, sindrom Crouzon, dan masih
banyak lagi.
Diagnosis Craniosynostosis
Craniosynostosis
umumnya ditangani oleh ahli bedah saraf pediatrik atau ahli bedah plastik.
Untuk mendiagnosis craniosynostosis, beberapa pemeriksaan yang akan dilakukan
antara lain:
·
Pemeriksaan fisik.
Dalam
pemeriksaan ini, dokter akan mengukur kepala bayi, serta meraba seluruh
permukaan kepala untuk memeriksa keadaan sutura dan ubun-ubun.
·
Tes Pencitraan.
Pemeriksaan
ini meliputi pencitraan dengan CT Scan, MRI, atau foto rontgen kepala. Tes ini
bertujuan untuk melihat apakah ada jaringan sutura yang menutup lebih cepat
dari normal. Pemindaian dengan sinar laser juga bisa dilakukan untuk
mendapatkan ukuran kepala dan tulang tengkorak yang akurat.
·
Uji genetik.
Jika
dicurigai adanya keterkaitan dengan kelainan genetik lain, maka uji genetik
bisa dilakukan untuk mengidentifikasi jenis kelainan genetik yang menjadi
penyebabnya.
Pengobatan Craniosynostosis
Craniosynostosis dengan tingkat keparahan ringan atau menengah tidak
membutuhkan pengobatan yang serius. Dokter biasanya menyarankan pasiennya untuk
menggunakan helm khusus yang berfungsi merapikan bentuk tengkorak serta
membantu perkembangan otak.
Jika craniosynostosis parah,
harus dilakukan operasi untuk mengurangi dan mencegah tekanan otak, memberikan
ruang agar otak bisa berkembang, serta merapikan bentuk tulang tengkorak.
Ada dua jenis operasi yang bisa
dilakukan untuk menangani craniosynostosis, yaitu:
·
Bedah endoskopi.
Bedah
minimal invasif ini cocok dilakukan untuk bayi berusia di bawah enam bulan,
dengan syarat hanya satu sutura yang bermasalah. Lewat operasi ini, sutura yang
bermasalah akan dibuka sehingga otak bisa berkembang secara normal.
·
Bedah terbuka.
Operasi
jenis ini dilakukan untuk bayi di atas enam bulan, dan tidak hanya untuk
mengatasi sutura yang bermasalah, tetapi juga memperbaiki bentuk tulang
tengkorak yang tidak proporsional. Masa pemulihan pascaoperasi bedah terbuka
lebih lama dibandingkan dengan bedah endoskopi.
Terapi helm dapat diberikan untuk merapikan bentuk
tulang tengkorak setelah bedah endoskopi, tetapi pada bedah terbuka terapi ini
tidak diperlukan.
Komplikasi Craniosynostosis
Craniosynostosis yang berat tidak boleh dibiarkan tanpa pengobatan. Jika
tidak ditangani, selain menyebabkan gangguan pada otak, bisa juga menyebabkan
perubahan bentuk (deformitas) wajah.
Hal ini dapat menyebabkan penderita craniosynostosis
malu untuk berbaur dengan masyarakat.
Penderita craniosynostosis
berat berisiko mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Jika tidak
ditangani, peningkatan tekanan intrakranial ini bisa menyebabkan kejang,
gangguan gerakan bola mata, kebutaan, keterlambatan perkembangan, gangguan fungsi
kognitif, bahkan kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar