Pengertian
Lupus
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh
sistem kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ
tubuh sendiri. Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh,
misalnya:
·
Kulit.
·
Sendi.
·
Sel darah.
·
Paru-paru.
·
Jantung.
Gejalanya kerap mirip dengan penyakit lain sehingga sulit
untuk didiagnosis. Gejala lupus sangat beragam. Ada yang ringan dan ada yang
bahkan mengancam jiwa. Penyakit ini memang tidak menular, tapi bisa berbahaya dan
bahkan berpotensi mematikan. Gejala umumnya adalah ruam kulit, kelelahan, sakit
dan pembengkakan pada sendi.
Gejala Lupus
Gejala lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) sangat beragam. Banyak
penderita SLE yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk waktu lama lalu
tiba-tiba mengalami serangan yang parah.
Meski gejala SLE bervariasi, ada tiga gejala utama yang
umumnya selalu muncul, antara lain:
·
Rasa lelah yang ekstrem.
Inilah gejala paling umum pada SLE yang sering dikeluhkan para penderita.
Rasa lelah yang ekstrem sangat mengganggu dan menghambat aktivitas. Banyak
penderita yang menyatakan bahwa gejala ini merupakan dampak negatif terbesar
dari SLE dalam kehidupan mereka.
Melakukan rutinitas sehari-hari yang sederhana, misalnya tugas rumah
tangga atau rutinitas kantor, dapat membuat penderita SLE sangat lelah. Rasa
lelah yang ekstrem tetap muncul bahkan setelah penderita cukup beristirahat.
·
Ruam pada kulit.
Yang menjadi ciri khas SLE adalah ruam
yang menyebar pada batang hidung dan kedua pipi. Gejala ini dikenal dengan
istilah ruam kupu-kupu (butterfly rash)
karena bentuknya yang mirip sayap kupu-kupu.
Bagian tubuh lain yang mungkin ditumbuhi ruam adalah tangan dan
pergelangan tangan. Ruam pada kulit akibat SLE dapat membekas secara permanen
dan bertambah parah jika terpapar sinar matahari akibat reaksi
fotosensitivitas.
·
Nyeri pada persendian.
Gejala utama lain dari SLE adalah rasa nyeri. Gejala ini umumnya muncul
pada persendian tangan dan kaki penderita. Rasa nyeri juga mungkin dapat
berpindah dengan cepat dari sendi satu ke sendi lain.
Tetapi
SLE umumnya tidak menyebabkan kerusakan atau cacat permanen pada persendian.
Itulah yang membedakan SLE dengan penyakit lain yang juga menyerang persendian.
Tiap penderita SLE merasakan gejala yang berbeda-beda. Ada
yang mengalami gejala ringan dan ada yang berat.
Ada beragam gejala lain yang dapat muncul selain yang utama.
Tetapi tidak semua gejala tersebut akan dialami penderita. Banyak penderita
yang hanya mengalami gejala utama.
Berikut adalah gejala-gejala lain yang kemungkinan dialami
penderita SLE:
·
Sariawan yang terus muncul.
·
Demam tinggi (38ºC atau lebih).
·
Tekanan darah tinggi.
·
Pembengkakan kelenjar getah bening.
·
Sakit kepala.
·
Rambut rontok.
·
Mata kering.
·
Sakit dada.
·
Hilang ingatan.
·
Napas pendek akibat inflamasi paru-paru, dampak
ke jantung, atau anemia.
·
Tubuh menyimpan cairan berlebihan sehingga
terjadi gejala seperti pembengkakan pada pergelangan kaki.
·
Jari-jari tangan dan kaki yang memutih atau
membiru jika terpapar hawa dingin atau karena stres (fenomena Raynaud).
Penyebab
Lupus
Sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari
sumber infeksi (misalnya, bakteri, atau virus) yang masuk. Itulah tujuan tubuh
memproduksi antibodi.
Tetapi sistem kekebalan tubuh penderita lupus eritematosus
sistemik (SLE) akan berbalik menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang
sehat. Inilah yang disebut dengan kondisi autoimun.
Penyebab kondisi ini pada penyakit lupus belum diketahui.
Menurut sebagian besar pakar, SLE disebabkan oleh kombinasi dari beberapa
penyebab.
Para pakar menduga bahwa ada beberapa faktor genetika yang
dapat mempertinggi risiko seseorang terkena lupus. Faktor-faktor lingkungan
juga punya andil dalam memicu penyebab penyakit ini.
·
Pengaruh genetika.
Faktor ini dipercaya sebagai salah satu penyebab SLE karena ada
penelitian yang membuktikan bahwa jika salah satu anak kembar identik menderita
SLE, saudaranya juga memiliki risiko setinggi 25% untuk terkena penyakit yang
sama. Bukti lainnya adalah tingkat perkembangan SLE dengan variasi yang
signifikan dalam tiap grup etnis.
Mutasi genetika kemungkinan berperan besar sebagai penyebab SLE. Menurut
para peneliti, ada beberapa mutasi genetika yang kemungkinan menjadi pemicu
meningkatnya risiko SLE. Saat terjadi kekacauan pada perintah normal dari gen
tertentu, mutasi genetika akan muncul. Hal ini akan menyebabkan keabnormalan
dalam kinerja tubuh.
Gen-gen termutasi umumnya berhubungan dengan fungsi tertentu dari sistem kekebalan
tubuh. Mungkin inilah yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh penderita SLE
mengalami kerusakan.
Alasan di balik jumlah penderita lupus wanita yang lebih banyak daripada
pria kemungkinan karena sebagian gen termutasi mengandung kromosom X. Kromosom
adalah struktur dalam inti sel yang mengandung informasi genetika. Pria
memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, sedangkan wanita memiliki
sepasang kromosom X.
·
Pengaruh lingkungan.
Risiko orang-orang yang rentan menderita SLE bisa saja meningkat jika
dipicu oleh beberapa faktor lingkungan. Meski belum terbukti secara luas,
faktor-faktor tersebut meliputi:
a.
Perubahan hormon yang terjadi pada wanita,
misalnya pada saat pubertas atau hamil.
b.
Paparan terhadap sinar matahari.
c.
Obat-obatan yang dapat memicu lupus-akibat-obat.
Jenis lupus ini biasanya akan hilang saat konsumsi obat yang menjadi
penyebabnya dihentikan.
Selain faktor-faktor di atas, virus Epstein-Barr (EBV) juga
dianggap berkaitan dengan SLE. Tetapi yang menjadi masalah adalah infeksi virus
ini jarang menunjukkan gejala. Jika ada pun, gejalanya berupa penyakit demam
kelenjar.
Diagnosis
Lupus
Gejala lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) kerap mirip dengan penyakit
lain yang sangat umum sehingga sulit untuk didiagnosis. Selain itu, gejala yang
dialami tiap penderita juga berbeda dan terkadang tidak konsisten. Ada
penderita yang mungkin hanya merasakan gejala ringan untuk beberapa waktu atau
tiba-tiba bertambah parah pada saat-saat tertentu.
·
Jenis-jenis tes darah yang dapat digunakan.
Ada beberapa jenis tes darah yang biasanya dianjurkan jika dokter
mencurigai Anda menderita SLE. Kombinasi dari hasil tes-tes tersebutlah yang
dapat membantu mengonfirmasi diagnosis SLE.
·
Tes antibodi anti-nuklir (anti –nuclear
antibody/ANA).
Tes ini digunakan untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam
darah, yaitu antibodi anti-nuklir. Jenis antibodi ini merupakan ciri utama SLE.
Sekitar 95% penderita SLE memiliki antibodi ini.
Tetapi hasil yang positif tidak selalu berarti Anda mengidap SLE, jadi
tes antibodi anti-nuklir tidak bisa dijadikan patokan untuk penyakit ini. Tes
lain juga dibutuhkan untuk memastikan diagnosis.
·
Tes antibodi anti-DNA.
Tes lain yang digunakan untuk memeriksa keberadaan antibodi tertentu
dalam darah adalah tes anti-DNA. Adanya antibodi anti-DNA dalam darah akan
meningkatkan risiko Anda terkena SLE.
Jumlah antibodi anti-DNA akan meningkat saat SLE bertambah aktif. Karena
itu, hasil tes Anda akan meningkat drastis saat Anda mengalami serangan yang
parah.
Tetapi orang-orang yang tidak menderita SLE juga dapat memiliki antibodi
ini.
·
Tes komplemen C3 dan C4.
Dokter mungkin akan menganjurkan pemeriksaan tingkat komplemen dalam
darah untuk mengecek keaktifan SLE. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan
menurun seiring aktifnya SLE Anda.
·
Pemeriksaan lanjut yang dianjurkan setelah
diagnosis SLE positif.
Penderita SLE memiliki risiko untuk terkena penyakit lain, misalnya
gangguan ginjal atau anemia. Karena itu, pemantauan rutin untuk melihat dampak
SLE pada tubuh orang yang positif mengidap SLE sangat dibutuhkan.
Proses
ini akan membantu dokter untuk memantau penyakit-penyakit lain yang mungkin
muncul sehingga dapat segera ditangani. Pemeriksaan lain yang mungkin Anda
butuhkan untuk mengecek dampak SLE pada organ dalam adalah rontgen, USG, dan CT scan.
Pengobatan
Lupus
Lupus eritematosus sistemik (systemic
lupus erythematosus/SLE) tidak bisa
disembuhkan. Tujuan pengobatan yang tersedia adalah untuk mengurangi tingkat
gejala, mencegah kerusakan organ dalam, serta meminimalkan dampaknya pada
kehidupan penderita SLE.
·
Menghindari paparan sinar matahari.
Melindungi kulit dari sinar matahari sangatlah penting bagi penderita
SLE. Ruam pada kulit yang dialami penderita SLE dapat bertambah parah jika
terpapar sinar matahari. Langkah yang dapat dilakukan adalah:
a.
Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian
kulit.
b.
Memakai topi dan kacamata hitam.
c.
Mengoleskan tabir surya berdosis tinggi agar
kulit tidak terbakar matahari.
Meski demikian, tidak semua penderita lupus sensitif terhadap sinar
matahari. Ada juga yang tidak perlu menerapkan langkah-langkah di atas.
Pengobatan khusus mungkin tidak dibutuhkan oleh penderita SLE dengan
gejala ringan, tetapi mereka umumnya tetap memerlukan obat-obatan untuk
menangani gejalanya. Berikut adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh
penderita SLE.
·
Obat anti inflamasi nonsteroid.
Nyeri sendi atau otot merupakan salah satu gejala utama SLE. Dokter
mungkin akan memberi obat anti inflamasi nonsteroid untuk mengurangi gejala
ini.
Obat anti inflamasi nonsteroid adalah pereda sakit yang dapat mengurangi
inflamasi yang terjadi pada tubuh. Jenis obat yang umumnya diberikan dokter
pada penderita SLE meliputi ibuprofen, naproxen, diclofenac, dan piroxicam.
Jenis obat ini (terutama, ibuprofen) sudah dijual bebas dan dapat
mengobati nyeri sendi atau otot yang ringan. Tetapi Anda membutuhkan obat dengan
resep dokter jika mengalami nyeri sendi atau otot yang lebih parah.
Penderita SLE juga sebaiknya waspada karena obat ini tidak cocok jika
mereka sedang atau pernah mengalami gangguan lambung, ginjal, atau hati. Obat
ini juga mungkin tidak cocok untuk penderita asma.
Selain itu, anak-anak di bawah 16 tahun sebaiknya tidak meminum aspirin.
Konsultasikanlah kepada dokter untuk menemukan obat anti inflamasi nonsteroid
yang cocok untuk Anda.
Konsumsi obat anti inflamasi nonsteroid dosis tinggi atau jangka panjang
dapat mengakibatkan pendarahan dalam karena rusaknya dinding lambung. Karena
itu, dokter akan memantau kondisi penderita SLE yang harus mengkonsumsinya
untuk jangka panjang dengan cermat. Jika komplikasi ini memang terjadi, dokter
akan menganjurkan pilihan lain.
·
Kartikosteroid.
Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dengan cepat dan efektif. Obat
ini biasanya diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami gejala atau
serangan yang parah.
Untuk mengendalikan gejala serta serangan, tahap awal pemberian obat ini
mungkin akan berdosis tinggi. Lalu dosisnya diturunkan secara bertahap seiring
kondisi penderita yang membaik.
Kortikosteroid selalu diberikan dengan dosis terendah yang efektif. Dosis
tinggi serta konsumsi jangka panjang obat ini dapat menyebabkan efek samping
yang meliputi penipisan tulang, penipisan kulit, bertambahnya berat badan, dan
peningkatan tekanan darah tinggi.
Cara meminimalisasi efek samping steroid adalah dengan menyesuaikan dosis
steroid dengan aktivitas penyakit sambil mengendalikannya secara efektif.
Selama Anda mengikuti resep dan diawasi oleh dokter, kortikosteroid termasuk
obat yang aman untuk digunakan
·
Hydroxychloroquine.
Selain pernah digunakan untuk menangani malaris, obat ini juga efektif
untuk mengobati beberapa gejala utama SLE. Di antaranya:
a.
Nyeri sendi dan otot.
b.
Kelelahan.
c.
Ruam pada kulit.
Dokter spesialis umumnya menganjurkan konsumsi obat ini untuk jangka
panjang bagi penderita SLE. Tujuannya adalah untuk:
a.
Mencegah serangan yang parah.
b.
Mengendalikan gejala.
c.
Mencegah perkembangan komplikasi yang lebih
serius.
Keefektifan hydroxychloroquine
biasa akan dirasakan penderita SLE setelah mengonsumsinya selama 1,5-3 bulan.
Tetapi semua obat tetap memiliki efek samping, termasuk hydroxychloroquine. Di antaranya
adalah gangguan pencernaan, diare, sakit kepala, dan ruam pada kulit.
Obat ini juga memiliki efek samping lain yang lebih serius, tetapi sangat
jarang terjadi. Contohnya, diperkirakan terdapat risiko 1:2000 di antara
penderita SLE yang mengonsumsi obat ini yang mungkin mengalami kerusakan mata.
Karena sangat jarang, pemeriksaan mata secara umum tidak diharuskan untuk semua
penderita lupus yang mengonsumsi obat ini.
Segera konsultasikanlah kepada dokter jika Anda mengalami gangguan
penglihatan selama mengonsumsi hydroxychloroquine.
·
Obat imunosupresan.
Cara kerja obat ini adalah dengan menekan kinerja sistem kekebalan tubuh.
Ada beberapa jenis imunosupresan yang biasanya diberikan dengan resep dokter,
yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil, dan cyclophosphamide.
Imunosupresan akan meringankan gejala SLE dengan membatasi kerusakan pada
bagian-bagian tubuh yang sehat akibat serangan sistem kekebalan tubuh. Obat ini
juga terkadang diberikan bersamaan dengan kortikosteroid. Jika dikombinasikan,
keduanya dapat meringankan gejala SLE dengan lebih efektif. Penggunaan
imunosupresan juga kemungkinan dapat mengurangi dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan penderita.
Imunosupresan termasuk obat yang sangat keras dan dapat menyebabkan efek
samping sebagai berikut:
a.
Muntah.
b.
Kehilangan nafsu makan.
c.
Pembengkakan gusi.
d.
Diare.
e.
Kejang-kejang.
f.
Mudah lebam atau berdarah.
g.
Berjerawat.
h.
Sakit kepala.
i.
Bertambahnya berat badan.
j.
Pertumbuhan rambut berlebihan.
Karena itu, obat ini biasanya diberikan dengan resep dokter hanya untuk
penderita SLE yang mengalami gejala atau serangan yang parah. Segera
konsultasikan kepada dokter jika ada efek samping yang terasa lebih mengganggu
daripada manfaatnya. Dosis Anda mungkin perlu disesuaikan.
Tiap jenis imunosupresan menyebabkan efek samping yang berbeda-beda.
Misalnya, mycophenolate dan cyclophosphamide dapat menyebabkan
cacat lahir. Karena itu, penderita SLE wanita yang menggunakan kedua jenis obat
ini dan aktif secara seksual dianjurkan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang
terjamin keampuhannya.
Bagi penderita SLE wanita yang berniat untuk punya anak, Anda dianjurkan
untuk memilih obat lain (misalnya azathioprine).
Anda juga dianjurkan untuk mengonsultasikannya terlebih dulu kepada dokter
spesialis.
Kehamilan sebaiknya direncanakan pada saat gejala SLE Anda berkurang
(masa remisi). Pemantauan saksama dari dokter spesialis serta dokter kandungan
selama masa kehamilan berlangsung juga sangat penting.
Risiko terjadinya infeksi akan meningkat seiring dengan kinerja sistem
kekebalan tubuh yang ditekan. Segera hubungi dokter jika Anda mengalami gejala
infeksi karena Anda mungkin membutuhkan penanganan secepatnya untuk mencegah
komplikasi yang serius.
Gejala infeksi terkadang mirip dengan serangan lupus dan meliputi:
b.
Demam tinggi (38ºC atau lebih).
c.
Sensasi terbakar yang terasa saat buang air
kecil.
d.
Kencing darah (hematuria).
Hindarilah kontak dengan orang yang sedang mengalami infeksi seringan apa
pun atau walau Anda sudah memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut,
misalnya cacar air atau campak. Penularan tetap mungkin terjadi karena kinerja
sistem kekebalan tubuh Anda sedang menurun karena ditekan oleh obat
imunosupresan.
Imunosupresan juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Karena itu,
Anda membutuhkan pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara rutin selama
menggunakan imunosupresan.
·
Rituximab.
Jika obat-obat lain tidak mempan bagi penderita SLE, dokter akan
menganjurkan rituximab. Obat ini termasuk jenis
baru dan awalnya dikembangkan untuk menangani kanker darah tertentu, misalnya
limfoma. Tetapi rituximab terbukti efektif untuk
menangani penyakit autoimun seperti SLE dan artritis reumatoid.
Cara kerja rituximab adalah
dengan mengincar dan membunuh sel B. Ini adalah sel yang memproduksi antibodi
yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini akan dimasukkan melalui infus yang
akan berlangsung selama beberapa jam. Selama proses pengobatan ini berlangsung,
kondisi Anda akan dipantau dengan cermat.
Efek
samping yang umum dari rituximab
meliputi pusing, muntah, dan gejala yang mirip flu (misalnya menggigil dan
demam tinggi selama pengobatan berlangsung). Efek samping lain yang mungkin
terjadi (meski sangat jarang) adalah reaksi alergi. Reaksi ini umumnya muncul
selama pengobatan berlangsung atau tidak lama setelahnya.
Komplikasi
Lupus
Gejala SLE yang ringan atau terkendali dengan baik biasa
tidak terlalu menghambat rutinitas sehari-hari penderitanya. Risiko komplikasi
juga mungkin akan menurun.
Seiring bertambahnya usia, gejala SLE mungkin akan banyak
berkurang. Penderita SLE yang berusia di atas 50 tahun umumnya mengalami hal
ini. Di antara penderita SLE wanita juga ada sebagian yang mengaku kondisinya
membaik setelah mengalami masa menopause.
Tetapi Anda harus tetap waspada jika menderita SLE. Risiko
munculnya kondisi serius dan komplikasi yang mematikan tetap ada.
·
SLE dan kompilkasi penyakit kardiovaskular.
Penyakit kardiovaskular adalah istilah umum untuk semua jenis penyakit
yang menyerang jantung dan pembuluh darah, seperti stroke, serangan jantung dan
tekanan darah tinggi. Selain itu, beberapa penderita SLE juga bisa mengalami
radang pada kantung yang membungkus jantung (perikarditis) atau pada otot-otot
jantung (miokarditis).
SLE dapat menyebabkan inflamasi pada jantung dan pembuluh darah. Karena
itu, penderita SLE diperkirakan memiliki risiko 6-8 kali lebih tinggi untuk
mengalami penyakit kardiovaskular. Risiko ini dapat dikurangi melalui
langkah-langkah berikut:
a.
Berolahraga secara teratur. Setidaknya 2,5 jam
dalam seminggu dengan jenis olahraga yang dapat membuat napas Anda sedikit
terengah-engah.
b.
Menjaga berat badan yang ideal dan sehat.
c.
Menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang.
Misalnya makanan rendah lemak jenuh, rendah gula, rendah garam, banyak buah,
dan sayuran setidaknya lima porsi dalam sehari.
d.
Berhenti merokok.
e.
Membatasi konsumsi minuman keras. Batas konsumsi
per hari yang direkomendasikan adalah 2-2,5 kaleng bir untuk pria dan maksimal
2 kaleng bir untuk wanita. Sekaleng bir biasanya berkadar alkohol sebanyak
4,7%.
·
SLE dan komplikasi nefritis lupus.
Inflamasi yang terjadi pada ginjal untuk waktu yang lama akibat SLE
memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit ginjal yang serius. Komplikasi ini
disebut nefritis lupus.
Diperkirakan sekitar 50% di antara penderita SLE yang mengidap nefritis
lupus. Penyakit ini juga cenderung berkembang pada tahap awal SLE (biasanya
dalam lima tahun pertama). Tes darah biasanya akan dianjurkan untuk memantau
kondisi ginjal Anda secara saksama. Beberapa gejala lupus nefritis meliputi:
a.
Rasa gatal.
b.
Sakit dada.
c.
Mual.
d.
Muntah.
e.
Sakit kepala.
f.
Pusing.
g.
Sering buang air kecil.
h.
Kencing darah.
i.
Pembengkakan pada kaki.
Nefritis lupus sering tidak menunjukkan gejala, tetapi Anda sebaiknya
tetap waspada. Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat merusak ginjal.
Tekanan darah tinggi juga dapat disebabkan oleh penyakit ini. Jika tidak
ditangani, tekanan darah tinggi akan mempertinggi risiko penyakit jantung yang
serius (misalnya, serangan jantung atau angina).
Penanganan untuk lupus nefritis dapat dilakukan dengan imunosupresan,
misalnya azathioprine, mycophenolate mofetil,
atau cyclophosphamide.
·
Resiko penyakit autoimun yang lainnya.
Tingkat risiko penderita SLE yang dapat mengidap penyakit autoimun lain
diperkirakan sekitar 30%. Di antaranya adalah peyakit tiroid, sindrom Sjogren,
atau sindrom Hughes (sindrom antifosfolipid).
·
Sindrom sjogren pada penedrita SLE.
Sindrom Sjogren dapat terjadi pada sekitar 12% penderita SLE. Penyakit
ini menyerang dan merusak kelenjar liur dan air mata. Gejala utama pada
kelainan sistem kekebalan tubuh ini adalah mata dan mulut yang kering.
·
Sindrom hughes (sindrom antifosfolipid) pada
penderita SLE.
Sindrom Hughes dapat mempertinggi risiko terjadinya penggumpalan darah
pada arteri dan vena. Penggumpalan darah pada arteri dapat menyebabkan stroke
dan serangan jantung. Sedangkan jika terjadi pada vena, penggumpalan darah
dapat mengakibatkan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT). Penyakit ini juga berbahaya bagi ibu hamil
karena dapat mempertinggi risiko komplikasi selama masa kehamilan.
Diagnosis untuk sindrom Hughes pada penderita SLE dapat dilakukan dengan
memeriksa keberadaan:
a.
Komplikasi yang berhubungan dengan pembuluh
darah dan/atau kehamilan.
b.
Antibodi antifosfolipid dalam darah.
·
SLE dan kehamilan.
SLE biasanya memang tidak memengaruhi kesuburan (fertilitas). Tetapi
penderita SLE wanita (terutama yang mengidap sindrom Hughes) sebaiknya tetap
waspada karena komplikasi umumnya terjadi pada masa kehamilan mereka. Di
antaranya adalah pre-eklampsia, kelahiran prematur, keguguran dan kelahiran
mati.
Dokter biasanya akan menganjurkan obat-obatan untuk mengurangi
kecenderungan penggumpalan darah. Penanganan dengan aspirin dan suntikan
heparin dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan untuk pasien sindrom Hughes.
Risiko lain yang mungkin terjadi adalah serangan gejala lupus pada masa
kehamilan, misalnya:
a.
Pembengkakan pada kaki dan tangan.
b.
Rambut rontok.
c.
Wajah memerah.
d.
Nyeri otot, tulang dan sendi.
Obat-obatan yang kualitasnya terjamin tidak akan memengaruhi ibu serta
bayi. Tetapi ada beberapa jenis obat yang dinilai aman digunakan untuk
mengurangi risiko terjadinya serangan SLE pada masa kehamilan. Di antaranya
adalah hydroxychloroquine (obat
anti-malaria), azathioprine (imunosupresan),
dan prednisolone (kortikosteroid).
Dokter
juga mungkin akan menyarankan Anda untuk menunda kehamilan agar mengurangi
risiko komplikasi pada masa kehamilan. Anda biasanya diminta untuk menunggu
selama enam bulan tanpa mengalami serangan SLE dan memiliki tingkat fungsi
ginjal yang normal atau mendekati normal sebelum hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar