Pengertian
Hidrosefalus
Hidrosefalus adalah penyakit yang menyerang organ
otak. Penderita hidrosefalus mengalami penumpukan cairan di dalam otak yang
berakibat pada meningkatnya tekanan pada otak. Jika tidak segera ditangani,
tekanan ini dapat merusak jaringan dan melemahkan fungsi otak.
Hidrosefalus dapat dialami oleh orang-orang pada
segala usia, namun umumnya penyakit ini diderita oleh bayi dan manula.
Berdasarkan gejalanya, penyakit hidrosefalus dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis.
·
Hidrosefalus
kongenital.
Kondisi
ini terjadi sejak bayi baru dilahirkan. Bayi yang mengalami hidrosefalus
bawaan, kepalanya akan terlihat sangat besar. Ubun-ubun atau fontanel mereka
akan tampak menggelembung dan menegang. Dikarenakan kulit kepala bayi masih
tipis, maka penggelembungan tersebut membuat urat-urat kepala menjadi terlihat
dengan jelas. Bayi-bayi dengan hidrosefalus, memiliki mata yang terlihat
seperti memandang ke bawah dan otot-otot kaki terlihat kaku, serta rentan
mengalami kejang. Gejala-gejala hidrosefalus bawaan lainnya adalah mudah
mengantuk, mual, rewel, dan susah makan.
·
Hidrosefalus
yang didapat atau acquired.
Kondisi
ini diderita oleh anak-anak dan orang dewasa. Selain penderita akan mengalami
mual dan nyeri leher, nyeri kepala juga akan muncul. Nyeri kepala ini biasanya
sangat terasa di pagi hari, setelah bangun tidur. Gejala lain dari hidrosefalus
tipe ini adalah mengantuk, penglihatan buram, bingung, sulit menahan kemih atau
menahan buang air besar, dan sulit berjalan. Jika tidak segera diobati, kondisi
ini dapat menyebabkan koma, bahkan kematian.
·
Hidrosefalus dengan tekanan normal.
Kondisi ini umumnya dialami oleh
manula. Penderita akan kesulitan menggerakkan kaki, sehingga beberapa dari
mereka terpaksa menyeret kaki agar dapat berjalan. Gejala lainnya adalah
kacaunya kendali kemih yang ditandai dengan sulit menahan kencing atau sering
merasa ingin kencing. Selain fisik, hidrosefalus tekanan normal juga berdampak
kepada kemampuan berpikir penderita. Mereka akan sulit mencerna informasi dan
lambat dalam menanggapi situasi atau pertanyaan.
Segera periksakan bayi, anak, atau diri Anda sendiri
ke dokter jika melihat atau merasakan gejala-gejala hidrosefalus. Terutama pada
bayi yang menderita hidrosefalus bawaan, jika tidak ditangani dengan tepat,
dalam jangka panjang kondisi ini dapat mengakibatkan komplikasi seperti:
·
Gangguan koordinasi.
·
Epilepsi.
·
Gangguan penglihatan.
·
Penurunan daya ingat.
·
Kesulitan belajar.
·
Gangguan bicara.
·
Sulit berkonsentrasi dan perhatian mudah
teralih.
Tanda
dan Gejala Hidrosefalus
Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela
anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang
karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior –
posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi.
Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak
agak kebawah dan keluar dengan
penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak
adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.
Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami
penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaranvontanela.
Ventirkulogram
menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan
sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada
ruangan Occuptional.
Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas
normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau
dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi,
malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan
fisik.
Penyebab
Hidrosefalus
Di dalam otak kita terdapat cairan
yang dinamakan serebrospinal. Cairan ini berfungsi sebagai penyedia nutrisi
yang dibutuhkan otak agar bisa terus bekerja dengan baik. Cairan ini juga
berfungsi sebagai pembersih limbah yang berasal dari metabolisme otak,
melindungi otak dari cedera, menjaga agar otak tetap mengapung pada posisinya,
dan mencegah terjadinya perubahan tekanan pada otak.
Tiap harinya jaringan pelapis otak
secara rutin memproduksi cairan serebrospinal. Cairan yang sudah tidak terpakai
kemudian dibuang dari tubuh setelah diserap oleh pembuluh darah.
Meski bermanfaat bagi kesehatan
otak, cairan serebrospinal bisa menjadi bumerang dan berbalik merugikan otak.
Kondisi ini terjadi jika jumlah cairan yang diproduksi lebih besar dibandingkan
yang dibuang. Inilah yang disebut sebagai hidrosefalus, yaitu meningkatnya
volume cairan serebrospinal di dalam otak.
Beberapa pemicu terjadinya penyakit hidrosefalus
antara lain:
·
Buruknya mekanisme penyerapan cairan
akibat radang atau cedera pada otak.
·
Terhambatnya aliran cairan serebrospinal
akibat kelainan pada sistem saraf.
·
Infeksi janin saat masih di dalam
kandungan yang menyebabkan radang pada jaringan otak janin.
·
Pendarahan di dalam otak.
·
Tumor otak.
·
Cedera parah di kepala.
·
Penyakit stroke.
Diagnosis
Hidrosefalus
Pemeriksaan penyakit hidrosefalus
biasanya dilakukan oleh seorang dokter ahli saraf. Dokter akan melakukan
sejumlah pemeriksaan sederhana, seperti memeriksa ciri-ciri fisik, koordinasi
dan keseimbangan pasien, memeriksa daya pendengaran, daya penglihatan, daya
indera peraba, dan memeriksa tonus, kekuatan, serta refleks otot. Terdapat juga
kemungkinan bahwa dokter akan memeriksa kondisi psikologis penderita.
Untuk lebih memastikan adanya
penumpukan cairan serebrospinal di dalam otak atau memastikan apakah ada
kondisi lain yang menyebabkan gejala serupa dengan hidrosefalus, dokter dapat
melakukan pemindaian otak. Prosedur tersebut dilakukan dengan:
·
CT scan.
Biasanya
digunakan sebagai pemeriksaan darurat terhadap penyakit hidrosefalus. Melalui CT
scan, gambar otak secara potong lintang dapat dihasilkan dengan teknologi X-ray.
·
MRI scan.
Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mendapatkan gambar otak secara rinci dengan menggunakan
medan magnetik dan gelombang radio.
·
USG.
Pemeriksaan
ini relatif aman dan rendah risiko. Karena itu, USG sering dijadikan sebagai
pemeriksaan awal untuk mendeteksi hidrosefalus pada janin atau bayi yang sudah
lahir.
Komplikasi
Hidrosefalus
Komplikasi Hidrocefalus sebagai berikut :
·
Peningkatan TIK.
·
Pembesaran Kepala.
·
Kerusakan Otak.
·
Meningitis, Ventrikularis, abses
abdomen.
·
Ekstremitas mengalami kelemahan,
inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun.
·
Kerusakan jaringan saraf.
·
Proses aliran darah terganggu.
·
Shunt tidak berfungsi dengan baik akibat
obstruksi mekanik.
·
Infeksi; septicemia, endokarditi,
infeksi luka, nefritis, meningitis, ventrikulitis, abses otak.
Pengobatan
Hidrisefalus
Pengobatan utama hidrosefalus adalah
melalui operasi dengan tujuan membuang kelebihan cairan serebrospinal di dalam
otak. Salah satu jenis operasi untuk menangani hidrosefalus adalah operasi
pemasangan shunt.
Shunt merupakan alat khusus berbentuk selang yang dipasangkan oleh
ahli bedah ke dalam kepala dengan tujuan mengalirkan cairan otak ke bagian
tubuh lain untuk selanjutnya diserap oleh pembuluh darah. Bagian tubuh yang
sering dipilih sebagai rute aliran cairan serebrospinal adalah rongga perut. Shunt
dilengkapi dengan katup yang berfungsi mengendalikan aliran agar keberadaan
cairan serebrospinal di dalam otak tidak surut terlalu cepat.
Shunt yang dipasangkan pada bayi dan anak-anak umumnya perlu
diganti seiring pertumbuhan untuk menyesuaikan dengan badan mereka yang makin
besar. Diperkirakan sebanyak dua kali prosedur pemasangan shunt akan
dilakukan pada anak-anak sebelum mereka menginjak usia 10 tahun.
Jenis operasi penanganan
hidrosefalus lainnya adalah endoscopic third ventriculostomy atau
disingkat ETV. Berbeda dengan operasi pemasangan shunt, pada prosedur
ETV, cairan serebrospinal dibuang dengan cara menciptakan lubang penyerapan
baru di permukaan otak. Prosedur ini biasanya diterapkan pada kasus
hidrosefalus yang dipicu oleh penyumbatan ventrikel otak.
Efek
Samping pengobatan Hidrosefalus
Operasi terbukti efektif dalam
menangani hidrosefalus. Meski demikian, bukan tidak mungkin prosedur ini dapat
menyebabkan efek samping di kemudian hari. Misalnya pada operasi pemasangan shunt,
efek samping yang timbul biasanya disebabkan oleh kerusakan atau penyumbatan
pada alat itu sendiri. Ini merupakan hal yang wajar karena shunt merupakan
alat yang terbuat dari materi berbahan lembut yang rentan terhadap kendala.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini
adalah beberapa efek samping yang dapat muncul setelah menjalani prosedur
pemasangan shunt.
·
Infeksi.
Kondisi
ini relatif umum terjadi, terutama beberapa bulan setelah operasi. Gejala
infeksi pasca pemasangan shunt meliputi mual, sakit kepala, leher
kaku, demam, dan nyeri di sekitar jalur shunt. Pada anak-anak, mereka
akan sering mengantuk atau rewel. Jika infeksi tidak terlalu parah, dokter
biasanya hanya akan meresepkan antibiotik. Namun jika mengkhawatirkan, operasi
penggantian shunt kemungkinan akan diperlukan.
·
Penyumbatan.
Jika shunt tersumbat,
maka cairan serebrospinal dapat menumpuk kembali di dalam otak. Kondisi ini
harus segera ditangani karena dapat menyebabkan kerusakan otak. Pada bayi, efek
samping akan mudah dikenali dari ciri fisik, berupa pembengkakan kepala
kembali. Selain pembengkakan, gejala penyumbatan shunt lainnya adalah
mual, sakit kepala, mengantuk, bingung, dan yang terburuk adalah koma. Sama
seperti infeksi, penyumbatan shunt biasanya ditangani dengan operasi
untuk shunt yang rusak.
·
Pengubahan
posisi
Kadang-kadang
shunt yang dipasang tidak berada di posisi yang tepat dan tentu saja
hal ini dapat menimbulkan masalah. Pada anak-anak, terutama bayi, pemosisian shunt
yang salah dapat membuat cairan serebrospinal merembes ke bagian sisi
selang tersebut. Apabila mereka memiliki luka di kulit, cairan itu akan keluar
melalui luka tersebut. Pemosisian shunt di dalam kepala harus
dilakukan secara hati-hati. Jika tidak, dapat menimbulkan efek samping, seperti
pendarahan, gangguan saraf, atau kejang.
Selain pada operasi pemasangan shunt, efek
samping juga bisa terjadi pasca operasi endoscopic third ventriculostomy (ETV).
Beberapa efek samping di antaranya:
·
Masalah saraf yang meliputi penurunan
fungsi salah satu sisi tubuh, ketidakseimbangan hormon, penglihatan ganda, atau
bahkan epilepsi.
·
Pendarahan di dalam otak.
·
Kerusakan pembuluh otak.
·
Infeksi.
·
Kegagalan otak untuk menyerap cairan
serebrospinal.
·
Menutupnya kembali lubang penyerapan
cairan serebrospinal.
Pada kasus menutupnya kembali lubang penyerapan
cairan serebrospinal yang pernah dibuat, dokter dapat menanganinya dengan
melakukan operasi ETV ulang. Namun jika operasi ETV tetap tidak berhasil
mengobati hidrosefalus, kemungkinan dokter akan beralih ke operasi pemasangan shunt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar