Sabtu, 18 November 2017

ANEMIA HEMOLITIK



Pengertian Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah kondisi di mana hancurnya sel darah merah (eritrosit) lebih cepat dibandingkan pembentukannya. Terjadinya anemia hemolitik dapat dipicu oleh faktor dari dalam sel darah merah (intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah merah (ekstrinsik).

Anemia hemolitik ekstrinsik merupakan anemia hemolitik yang disebabkan oleh respons sistem imun yang merangsang limpa untuk menghancurkan sel darah merah. Sedangkan anemia hemolitik intrinsik merupakan anemia hemolitik yang disebabkan oleh sel darah merah yang tidak normal. Kondisi tersebut menyebabkan sel darah merah tidak memiliki masa hidup seperti sel normal. Anemia hemolitik intrinsik umumnya diturunkan secara genetik seperti anemia sel sabit atau thalassemia.

Anemia hemolitik baik yang ekstrinsik maupun intrinsik dapat muncul dalam jangka waktu pendek (temporer) maupun muncul sebagai penyakit kronis. Anemia hemolitik temporer dapat diobati dan hilang setelah beberapa bulan, sedangkan anemia hemolitik kronis dapat diderita seumur hidup dan menyebabkan terjadinya kekambuhan setelah periode waktu tertentu.

Anemia hemolitik bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang umur, serta dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pada sebagian penderita, anemia hemolitik hanya menampakkan gejala ringan. Sedangkan pada sebagian lainnya, kondisi ini memerlukan perawatan intensif sepanjang hidup.

Penyebab Anemia Hemolitik

Beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik intrinsik adalah:

·         Anemia sel sabit.

·         Talassemia.

·         Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).

·         Defisiensi enzim piruvat kinase.

Sedangkan beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik ekstrinsik adalah:

·         Pembesaran limpa.

·         Infeksi virus Epstein-Barr dan Hepatitis.

·         Infeksi bakteri Coli, Salmonella typhi, dan Streptococcus sp.

·         Leukemia.

·         Limfoma.

·         Tumor.

·         Lupus.

·         Sindrom Wiskott-Aldrich.

·         Sindrom HELLP.

Anemia hemolitik ekstrinsik juga dapat terjadi akibat efek samping konsumsi obat-obatan tertentu, seperti:

·         Paracetamol.

·         Antibiotik, terutama penisilin, ampisilin, dan metisilin.

·         Chlorpromazine.

·         Ibuprofen.

·         Interferon.

·         Procainamide.

·         Quinine (kina).

·         Rifampin.

Salah satu penyebab utama anemia hemolitik berat adalah kesalahan transfusi darah dimana golongan darah pendonor dan penerima tidak cocok. Jika penerima donor diberikan darah yang tidak sesuai golongannya, maka antibodi yang terkandung dalam plasma darah orang tersebut akan menyerang sel darah merah pada darah yang didonorkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan sel darah merah secara luas di dalam tubuh.

Ada juga yang dinamakan dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, yaitu kondisi pada saat sel darah merah terfragmentasi. Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan kondisi tersebut adalah:

·         Gangguan katup jantung buatan.

·         Sindrom hemolitik uremia (SHU).

·         Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).

·         Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).

Sedangkan pada bayi yang baru lahir, terdapat suatu kondisi anemia hemolitik yang dinamakan eritroblastosis fetalis. Kondisi ini terjadi akibat ketidakcocokan golongan darah rhesus antara ibu hamil dengan janin. Jika seorang ibu hamil memiliki golongan darah rhesus negatif dan ayah janin bergolongan rhesus positif, terdapat kemungkinan janin di dalam kandungan memiliki rhesus positif. Keadaan tersebut akan menyebabkan sel darah merah janin diserang oleh antibodi dari tubuh ibu. Kasus eritroblastosis fetalis umumnya terjadi pada kehamilan kedua ketika ibu hamil sudah memiliki antibodi yang terbentuk dari kehamilan pertama.

Penyakit anemia hemolitik cukup berbahaya bagi bayi dikarenakan komplikasi dari anemia tersebut. Saat ini, pengobatan untuk bayi yang mengalami eritroblastosis fetalis adalah dengan pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) atau transfusi darah. Dokter juga dapat mencegah munculnya eritroblastosis fetalis pada ibu hamil yang terdiagnosa kondisi tersebut dengan memberikan injeksi RhoGAM pada usia kehamilan 28 minggu.

Gejala Anemia Hemolitik

Gejala anemia hemolitik hampir mirip dengan anemia jenis lain. Untuk membedakannya, perlu dilakukan diagnosis lebih lanjut. Beberapa gejala anemia hemolitik yang sering muncul adalah:
·         Kulit pucat.

·         Kelelahan.

·         Demam.

·         Kepala terasa berat dan berkunang-kunang.

·         Pusing.

·         Letih dan tidak dapat melakukan aktivitas fisik berat.

Sedangkan gejala lainnya yang mungkin juga dapat muncul pada penderita anemia hemolitik adalah:

·         Urine yang berubah jadi gelap.

·         Kulit dan putih mata menguning.

·         Jantung terasa berdesir.

·         Denyut jantung meningkat.

·         Pembesaran limpa dan hati.

Diagnosis Anemia Hemolitik

Dokter akan menanyakan tentang gejala-gejala yang muncul, meninjau riwayat kesehatan pasien, serta melakukan pemeriksaan fisik sebagai langkah awal diagnosis anemia hemolitik.

Pada saat pemeriksaan fisik, dokter juga akan melakukan pengecekan warna kulit (terutama jika ada penguningan pada kulit atau pada putih mata). Setelah itu dokter akan mengecek perut pasien untuk melihat adanya pengerasan atau pembengkakan sebagai tanda dari membesarnya organ hati dan limpa.

Jika pasien dicurigai menderita anemia hemolitik, dokter akan melakukan pengecekan darah. 

Beberapa parameter yang dicek adalah sebagai berikut:

·         Jumlah sel darah total.

Guna mengetahui jumlah sel darah pada pasien.

·         Bilirubin.

Guna mengetahui jumlah sel darah merah yang dihancurkan oleh hati. Pada penderita anemia hemolitik, konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam tubuh umumnya di bawah 0,3 mg/L.

·         Hemoglobin.

Guna mengetahui jumlah sel darah merah yang masih hidup.

·         Jumlah retikulosit.

Guna mengetahui banyaknya sel darah merah yang diproduksi oleh tubuh.

·         Fungsi hati.

Beberapa tes tambahan yang dapat membantu diagnosis anemia hemolitik adalah:

·         Tes urin.

Guna mendeteksi keberadaan sel darah dalam urine.

·         Biopsi sumsum tulang.

Untuk menentukan jumlah sel darah merah yang diproduksi beserta bentuknya.

·         Pewarnaan darah (peripheral blood smear).

Pewarnaan darah digunakan untuk melihat bentuk sel darah melalui pengamatan mikroskopis. Melalui pemeriksaan ini, dokter dapat mengetahui kematangan sel darah, fragmentasi sel darah, dan sebagainya. Pewarnaan darah juga dapat mendeteksi apakah seseorang terkena anemia sel sabit atau tidak dilihat dari bentuk sel darah merahnya.

·         Studi enzim laktat dehidrogenase.

Enzim laktat dehidrogenase merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan adanya hemolisis pada pasien. Pasien yang menderita anemia hemolitik dapat didiagnosis dari peningkatan serum laktat dehidrogenase dalam darah. Meskipun demikian, beberapa penyakit keganasan (kanker) lainnya juga dapat meningkatkan kadar serum laktat dehidrogenase dalam darah.

·         Studi serum haptoglobin.

Penurunan serum haptoglobin dalam darah dapat mengindikasikan adanya anemia hemolitik menengah hingga berat.

Pengobatan Anemia Hemolitik

Pengobatan anemia hemolitik akan bergantung pada tingkat keparahan anemia, usia, kondisi kesehatan pasien secara umum, dan toleransi pasien terhadap obat-obatan tertentu. Metode pengobatan anemia hemolitik antara lain adalah:

·         Transfusi darah.

Transfusi darah bertujuan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pasien dan mengganti sel darah yang rusak secara cepat.

·         Imunoglobulin intravena (IVIG).

Kekurangan sel darah merah dapat menyebabkan pasien lebih rentan terkena infeksi. Untuk mencegah hal tersebut, pasien akan diberikan imunoglobulin melalui cairan intravena.

·         Kortikosteroid.

Pada pasien anemia hemolitik ekstrinsik yang disebabkan oleh penyakit autoimun, kortikosteroid berfungsi untuk menekan respons sistem imun agar sel darah merah tidak dihancurkan dengan mudah.

·         Operasi pengangkatan limpa.

Limpa merupakan organ yang befungsi menghancurkan sel darah merah. Pada kasus anemia hemolitik yang berat dan tidak dapat diatasi dengan metode pengobatan lain, limpa pasien dapat diangkat untuk mengurangi kerusakan sel darah merah.

Bagi penderita anemia hemolitik yang sudah didiagnosis oleh dokter, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini agar dapat menjalani aktivitas normal, di antaranya:

·         Menghindari kontak langsung dengan orang sakit, terutama yang terkena penyakit infeksi.

·         Menghindari kerumunan orang banyak untuk menurunkan risiko infeksi.

·         Rutin mencuci tangan.

·         Menghindari memakan makanan mentah.

·         Rutin menggosok gigi.

·         Menjalani vaksinasi flu tiap tahun secara rutin.

Komplikasi Anemia Hemolitik

Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada penderita anemia hemolitik adalah:

·         Tingkat keparahan anemia meningkat. Pada pasien penderita hemolisis intravaskular, kekurangan zat besi akibat hemoglobinuria kronis dapat memperparah anemia yang sudah muncul.

·         Sakit kuning (jaundice).

·         Gagal jantung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar