Kamis, 23 November 2017

ATAKSIA FRIEDREICH



Pengertian Ataksia Friedreich

Ataksia Friedreich merupakan salah satu penyakit saraf degeneratif yang memengaruhi sistem saraf dan jantung. Ataksia Friedreich merupakan penyakit yang bersifat genetik dan diwariskan melalui kromosom autosom dengan gen bersifat resesif. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penyakit kardiomiopati (kelainan otot jantung) dan diabetes. Ataksia Friedreich pertama kali diidentifikasi oleh Nikolaus Friedreich pada tahun 1863, dan gen yang menyebabkannya ditemukan pada tahun 1996.

Degenerasi saraf akibat ataksia Friedreich akan menyebabkan penderitanya sulit berjalan, kehilangan rasa dan kontrol atas tangan dan kaki, serta sulit berbicara. Hingga saat ini, ataksia Friedreich belum dapat diobati. Pengobatan yang tersedia hanya bertujuan untuk membantu penderita mengontrol gejala yang muncul. Ataksia Friedreich merupakan penyakit degeneratif yang progresif dan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Lebih dari 95% penderita penyakit ini harus menggunakan kursi roda pada usia 45 tahun. Kematian yang diakibatkan oleh ataksia Friedreich berkisar di usia 35-50 tahun.

Gejala Ataksia Friedreich

Gejala-gejala awal ataksia Friedreich umumnya muncul sebelum usia 20 tahun. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan gejala awal ataksia Friedreich muncul pada usia lanjut di atas 50 tahun. Gejala awal ataksia yang dapat diamati pada penderitanya antara lain:

·         Ketidakstabilan pada saat berjalan.

·         Penurunan dalam kemampuan.

·         Terjadi kenaikan lengkungan pada telapak kaki (scoliosis pes cavus), atau deformatitas lain pada kaki, seperti clubfoot.

·         Gangguan penglihatan.

·         Gangguan pendengaran.

·         Otot yang lemah.

·         Berkurangnya refleks tungkai.

·         Kurangnya koordinasi antara anggota gerak badan.

·         Sulit merasakan getaran atau gerakan pada tungkai.

Seringkali penderita ataksia Friedreich juga menderita gangguan pada jantung, terutama kardiomiopati hipertrofik (penebalan jaringan otot jantung). Penyakit lainnya yang dapat muncul pada penderita ataksia Friedreich adalah atrofi saraf optik, diabetes melitus, sianosis perifer, dan edema.

Kemunculan gejala-gejala ataksia Friedreich umumnya terjadi pada usia dini, terutama terlihat dari ketidakstabilan penderita pada saat berjalan, berdiri, atau berlari. Ketika ataksia Friedreich sudah berkembang pada tahapan yang lebih lanjut, penyakit ini akan mempengaruhi anggota gerak lainnya, terutama tangan. Ataksia Friedreich yang berkembang pada tangan akan menyebabkan terjadinya tremor. Selain itu, tremor ini juga dapat muncul pada bagian otot lengan, badan, dan wajah.

Pada penderita atkasia Friedreich stadium lanjut, kaki dan telapak kaki akan terasa lemah sehingga menyebabkan sulit untuk berjalan. Pelemahan pada kaki akan berlanjut menjadi kelumpuhan dan penderita harus menggunakan kursi roda atau hanya berbaring di tempat tidur. Pelemahan anggota gerak juga akan terjadi pada tangan, meskipun pelemahan pada tangan seringkali muncul setelah terjadinya kelumpuhan pada kaki.

Setelah ataksia Friedreich pada penderita memasuki stadium akhir, dapat muncul disartria (sulit bicara) dan disfagia (sulit menelan) akibat gangguan saraf pada wajah. Selain itu, penderita ataksia stadium akhir juga dapat mengalami pelemahan pada otot wajah dan otot mulut. Sulitnya koordinasi antara berbicara, bernapas, menelan dan tertawa dapat menyebabkan penderita tersedak ketika berbicara.

Umumnya, harapan hidup penderita ataksia Friedreich rata-rata adalah 40-50 tahun, namun dapat berbeda-beda tergantung tingkat keparahan kondisi yang terjadi. Kelumpuhan dan kehilangan kemampuan berjalan umumya terjadi 15 tahun setelah terdiagnosis. Aritmia dan gagal jantung merupakan penyebab utama kematian pada penderita ataksia Friedreich.

Penyebab Ataksia Friedreich

Ataksia Friedreich merupakan penyakit genetik yang disebabkan mutasi pada kromosom nomor 9, terutama pada gen yang mengkode protein Frataxin. Frataxin merupakan protein yang diduga terlibat pada pengaturan kadar ion besi di mitokondria. Mutasi pada gen Frataxin dapat menyebabkan gangguan keseimbangan kadar ion besi di dalam sel, yang kemudian mengakibatkan gangguan fungsi mitokondria dan kerusakan sel, terutama sel saraf dan sel-sel jantung. Sel dan jaringan saraf sensorik seringkali mengalami kerusakan paling awal dan paling parah pada penderita ataksia Friedreich. 

Kerusakan saraf sensorik ini juga mencakup gangguan pada sistem proprioseptif, yaitu sistem yang memproses informasi dari otot dan sendi tubuh sehingga seseorang paham dimana letak tubuh dan gerak tubuhnya.

Ataksia Friedreich merupakan penyakit progresif yang dapat menyebabkan kematian pada penderitanya. Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat ataksia Friedreich memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini. Jika pada suatu keluarga hanya terdapat salah satu orang tua yang terkena ataksia Friedreich, maka keturunannya dapat membawa gen penyakit ini, namun tidak mengalami gejala-gejalanya.

Diagnosis Ataksia Friedreich

Diagnosis ataksia Friedreich melibatkan beberapa pemeriksaan yang cukup kompleks. Metode pemeriksaan yang dapat digunakan untuk memastikan adanya ataksia Friedreich antara lain adalah:

·         Peninjauan riwayat medis.

Terutama terkait adanya kemungkinan pembawa gen ataksia.

·         Pemeriksaan kondisi fisik.

Pemeriksaan ini untuk menilai kondisi saraf dan otot penderita. Berdasarkan rekomendasi World Federation of Neurology, hal-hal yang harus dinilai dalam pemeriksaan ini adalah sebagai berikut:

a.       Kemampuan berjalan.

b.      Kecepatan berjalan.

c.       Kemampuan berdiri dengan mata terbuka. Tes dapat dilakukan dengan berdiri menggunakan satu kaki. Jika tidak bisa, dapat menggunakan kedua kaki.

d.      Kemampuan melebarkan kaki dengan mata terbuka, kemudian diukur lebar antara kedua kaki.

e.      Kemampuan menstabilkan tubuh jika terjadi guncangan.

f.        Kestabilan posisi duduk.

g.       Fungsi kinetik.

h.      Kemampuan berbicara, termasuk kefasihan dan kejelasan dalam berbicara.

i.         Pergerakan bola mata.

·         Pemeriksaan konduksi saraf.

Tes ini berfungsi untuk mengukur kecepatan rangsang saraf melalui pembuluh saraf. Tes ini dapat memberikan informasi jika terdapat kerusakan jaringan saraf. Selama tes, kulit di bagian tertentu akan ditempeli sepasang elektroda. Salah satu elektroda berfungsi sebagai pemberi rangsangan, sedangkan elektroda lainnya berfungsi sebagai penangkap rangsangan saraf. Kecepatan konduksi atau penghantaran rangsangan pada kulit kemudian diukur dan dianalisis. Pada penderita ataksia Friedreich, hasil studi konduksi saraf motoris memberikan kecepatan rangsangan saraf motoris diatas 40 m/s. Sedangkan pada konduksi saraf sensoris, umumnya tidak ada kecepatan yang terekam.

·         Elektrokardiografi (EKG).

Pemeriksaan ini berfungsi untuk menganalisa kondisi rangsangan saraf pada jantung. Hasil EKG pada penderita ataksia Friedreich, biasanya menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel dan inversi gelombang T.

·         Ekokardiografi.

Tes ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi jantung dengan menggunakan gelombang suara. Hasil analisis ekokardiografi pada penderita ataksia Friedreich dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel, hipertrofi septal, dan kardiomiopati hipertrofik.

·         MRI.

Pemindaian MRI pada penderita ataksia Friedreich difokuskan pada otak dan tulang belakang. Pada penderita ataksia Friedreich, dapat ditemukan adanya atrofi, terutama pada saraf tulang belakang bagian leher.

Pemeriksaan genetik pada anak dengan keluarga yang memiliki risiko dan riwayat ataksia Friedreich dapat dilakukan mulai dari sebelum lahir. Selain itu, pemeriksaan genetik pada calon pasangan suami istri, terutama dengan riwayat ataksia Friedrich dalam keluarga, juga dapat dilakukan. Tujuannya adalah untuk memprediksi kemungkinan munculnya ataksia Friedreich pada keturunan berikutnya dari pasangan tersebut.

Pengobatan Ataksia Friedreich

Perlu diingat bahwa ataksia Friedreich tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, penanganannya ditujukan untuk mengatasi gejala-gejala yang muncul. Ataksia Friedreich akan bertambah buruk seiring berjalannya waktu. Setelah 15-20 tahun, berbagai gejala ataksia Friedreich akan bermunculan pada penderita sehingga harus bergantung pada kursi roda untuk bergerak. Seringkali penderita juga mengalami penyakit jantung yang dapat menjadi penyebab kematian.

Pengobatan ataksia Friedreich dilakukan dengan melibatkan berbagai dokter spesialis, terutama dokter saraf, dokter ahli genetik, dan dokter fisioterapi. Selama pengobatan, dilakukan juga peninjauan tahunan untuk memantau kondisi saraf, jantung, otot dan tulang, serta sistem organ lain. Pengobatan gejala ataksia Friedreich hingga saat ini masih berfokus pada terapi antioksidan. 

Beberapa jenis obat lainnya yang dapat diberikan antara lain adalah:

·         Eritropoietin. 

·         Deferiprone.

·         Pioglitazone. 

·         Histone deacetylase inhibitors.

·         Peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-γ) agonist.

Berbagai pengobatan pendukung yang dapat diberikan kepada penderita ataksia Friedreich untuk membantu mengendalikan gejala-gejala yang muncul antara lain adalah:

·         Fisioterapi.

·         Terapi okupasi.

·         Pengobatan gagal jantung dan aritmia. Jika diperlukan dapat dilakukan transplantasi jantung pada penderia ataksia Friedreich.

·         Insulin untuk membantu mengatasi diabetes terkait ataksia Friedreich.

·         Terapi bicara.

·         Konseling dan obat antidepresan untuk mengatasi depresi akibat ataksia Friedreich.

Untuk mengatasi scoliosis pes cavus pada kaki penderita ataksia Friedreich, dapat dilakukan pembedahan. Selain melalui pembedahan, deformitas pada kaki juga dapat ditangani menggunakan botoks. Pada penderita ataksia yang mengalami kedinginan pada kaki atau sianosis periferal, dapat diberikan metode latihan pasif untuk mengatasi kondisi tersebut.

Gejala disfungsi sfingter (katup otot yang mengatur saluran tubuh) harus dimonitor dan dapat diobati dengan menggunakan oxybutinin. Pada penderita yang mengalami disfungsi seksual, dapat diobati menggunakan pengobatan disfungsi seksual seperti umumnya. Jika muncul disfagia pada penderita, dapat dilakukan modifikasi pola dan jenis makanan, atau dilakukan gastrostomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar