Pengertian Ataksia
Friedreich
Ataksia Friedreich merupakan salah satu penyakit saraf
degeneratif yang memengaruhi sistem saraf dan jantung. Ataksia Friedreich
merupakan penyakit yang bersifat genetik dan diwariskan melalui kromosom
autosom dengan gen bersifat resesif. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
penyakit kardiomiopati (kelainan otot jantung) dan diabetes. Ataksia Friedreich
pertama kali diidentifikasi oleh Nikolaus Friedreich pada tahun 1863, dan gen
yang menyebabkannya ditemukan pada tahun 1996.
Degenerasi saraf akibat ataksia Friedreich akan menyebabkan
penderitanya sulit berjalan, kehilangan rasa dan kontrol atas tangan dan kaki,
serta sulit berbicara. Hingga saat ini, ataksia Friedreich belum dapat diobati.
Pengobatan yang tersedia hanya bertujuan untuk membantu penderita mengontrol
gejala yang muncul. Ataksia Friedreich merupakan penyakit degeneratif yang
progresif dan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Lebih dari 95%
penderita penyakit ini harus menggunakan kursi roda pada usia 45 tahun.
Kematian yang diakibatkan oleh ataksia Friedreich berkisar di usia 35-50 tahun.
Gejala Ataksia
Friedreich
Gejala-gejala awal ataksia Friedreich umumnya muncul sebelum
usia 20 tahun. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan gejala awal ataksia
Friedreich muncul pada usia lanjut di atas 50 tahun. Gejala awal ataksia yang
dapat diamati pada penderitanya antara lain:
·
Ketidakstabilan pada saat berjalan.
·
Penurunan dalam kemampuan.
·
Terjadi kenaikan lengkungan pada telapak kaki (scoliosis pes cavus), atau
deformatitas lain pada kaki, seperti clubfoot.
·
Gangguan penglihatan.
·
Gangguan pendengaran.
·
Otot yang lemah.
·
Berkurangnya refleks tungkai.
·
Kurangnya koordinasi antara anggota gerak badan.
·
Sulit merasakan getaran atau gerakan pada
tungkai.
Seringkali penderita ataksia Friedreich juga menderita
gangguan pada jantung, terutama kardiomiopati hipertrofik (penebalan jaringan
otot jantung). Penyakit lainnya yang dapat muncul pada penderita ataksia
Friedreich adalah atrofi saraf optik, diabetes melitus, sianosis perifer, dan
edema.
Kemunculan gejala-gejala ataksia Friedreich umumnya terjadi
pada usia dini, terutama terlihat dari ketidakstabilan penderita pada saat
berjalan, berdiri, atau berlari. Ketika ataksia Friedreich sudah berkembang
pada tahapan yang lebih lanjut, penyakit ini akan mempengaruhi anggota gerak
lainnya, terutama tangan. Ataksia Friedreich yang berkembang pada tangan akan
menyebabkan terjadinya tremor. Selain itu, tremor ini juga dapat muncul pada
bagian otot lengan, badan, dan wajah.
Pada penderita atkasia Friedreich stadium lanjut, kaki dan
telapak kaki akan terasa lemah sehingga menyebabkan sulit untuk berjalan.
Pelemahan pada kaki akan berlanjut menjadi kelumpuhan dan penderita harus
menggunakan kursi roda atau hanya berbaring di tempat tidur. Pelemahan anggota
gerak juga akan terjadi pada tangan, meskipun pelemahan pada tangan seringkali
muncul setelah terjadinya kelumpuhan pada kaki.
Setelah ataksia Friedreich pada penderita memasuki stadium
akhir, dapat muncul disartria (sulit bicara) dan disfagia (sulit menelan)
akibat gangguan saraf pada wajah. Selain itu, penderita ataksia stadium akhir
juga dapat mengalami pelemahan pada otot wajah dan otot mulut. Sulitnya
koordinasi antara berbicara, bernapas, menelan dan tertawa dapat menyebabkan
penderita tersedak ketika berbicara.
Umumnya, harapan hidup penderita ataksia Friedreich
rata-rata adalah 40-50 tahun, namun dapat berbeda-beda tergantung tingkat keparahan
kondisi yang terjadi. Kelumpuhan dan kehilangan kemampuan berjalan umumya
terjadi 15 tahun setelah terdiagnosis. Aritmia dan gagal jantung merupakan
penyebab utama kematian pada penderita ataksia Friedreich.
Penyebab Ataksia
Friedreich
Ataksia Friedreich merupakan penyakit genetik yang
disebabkan mutasi pada kromosom nomor 9, terutama pada gen yang mengkode
protein Frataxin. Frataxin merupakan protein yang diduga terlibat pada
pengaturan kadar ion besi di mitokondria. Mutasi pada gen Frataxin dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan kadar ion besi di dalam sel, yang kemudian
mengakibatkan gangguan fungsi mitokondria dan kerusakan sel, terutama sel saraf
dan sel-sel jantung. Sel dan jaringan saraf sensorik seringkali mengalami
kerusakan paling awal dan paling parah pada penderita ataksia Friedreich.
Kerusakan saraf sensorik ini juga mencakup gangguan pada sistem proprioseptif,
yaitu sistem yang memproses informasi dari otot dan sendi tubuh sehingga
seseorang paham dimana letak tubuh dan gerak tubuhnya.
Ataksia Friedreich merupakan penyakit progresif yang dapat
menyebabkan kematian pada penderitanya. Seseorang yang memiliki keluarga dengan
riwayat ataksia Friedreich memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit ini.
Jika pada suatu keluarga hanya terdapat salah satu orang tua yang terkena
ataksia Friedreich, maka keturunannya dapat membawa gen penyakit ini, namun
tidak mengalami gejala-gejalanya.
Diagnosis Ataksia
Friedreich
Diagnosis ataksia Friedreich melibatkan beberapa pemeriksaan
yang cukup kompleks. Metode pemeriksaan yang dapat digunakan untuk memastikan
adanya ataksia Friedreich antara lain adalah:
·
Peninjauan riwayat medis.
Terutama terkait adanya kemungkinan pembawa gen ataksia.
·
Pemeriksaan kondisi fisik.
Pemeriksaan ini untuk menilai kondisi saraf dan otot penderita.
Berdasarkan rekomendasi World Federation of Neurology,
hal-hal yang harus dinilai dalam pemeriksaan ini adalah sebagai berikut:
a.
Kemampuan berjalan.
b.
Kecepatan berjalan.
c.
Kemampuan berdiri dengan mata terbuka. Tes dapat
dilakukan dengan berdiri menggunakan satu kaki. Jika tidak bisa, dapat
menggunakan kedua kaki.
d.
Kemampuan melebarkan kaki dengan mata terbuka,
kemudian diukur lebar antara kedua kaki.
e.
Kemampuan menstabilkan tubuh jika terjadi guncangan.
f.
Kestabilan posisi duduk.
g.
Fungsi kinetik.
h.
Kemampuan berbicara, termasuk kefasihan dan
kejelasan dalam berbicara.
i.
Pergerakan bola mata.
·
Pemeriksaan konduksi saraf.
Tes ini berfungsi untuk mengukur kecepatan rangsang saraf melalui pembuluh
saraf. Tes ini dapat memberikan informasi jika terdapat kerusakan jaringan
saraf. Selama tes, kulit di bagian tertentu akan ditempeli sepasang elektroda.
Salah satu elektroda berfungsi sebagai pemberi rangsangan, sedangkan elektroda
lainnya berfungsi sebagai penangkap rangsangan saraf. Kecepatan konduksi atau
penghantaran rangsangan pada kulit kemudian diukur dan dianalisis. Pada
penderita ataksia Friedreich, hasil studi konduksi saraf motoris memberikan
kecepatan rangsangan saraf motoris diatas 40 m/s. Sedangkan pada konduksi saraf
sensoris, umumnya tidak ada kecepatan yang terekam.
·
Elektrokardiografi (EKG).
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menganalisa kondisi rangsangan saraf pada
jantung. Hasil EKG pada penderita ataksia Friedreich, biasanya menunjukkan
adanya hipertrofi ventrikel dan inversi gelombang T.
·
Ekokardiografi.
Tes ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi jantung dengan
menggunakan gelombang suara. Hasil analisis ekokardiografi pada penderita
ataksia Friedreich dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel, hipertrofi septal,
dan kardiomiopati hipertrofik.
·
MRI.
Pemindaian
MRI pada penderita ataksia Friedreich difokuskan pada otak dan tulang belakang.
Pada penderita ataksia Friedreich, dapat ditemukan adanya atrofi, terutama pada
saraf tulang belakang bagian leher.
Pemeriksaan genetik pada anak dengan keluarga yang memiliki
risiko dan riwayat ataksia Friedreich dapat dilakukan mulai dari sebelum lahir.
Selain itu, pemeriksaan genetik pada calon pasangan suami istri, terutama
dengan riwayat ataksia Friedrich dalam keluarga, juga dapat dilakukan.
Tujuannya adalah untuk memprediksi kemungkinan munculnya ataksia Friedreich
pada keturunan berikutnya dari pasangan tersebut.
Pengobatan Ataksia
Friedreich
Perlu diingat bahwa ataksia Friedreich tidak dapat
disembuhkan. Oleh karena itu, penanganannya ditujukan untuk mengatasi
gejala-gejala yang muncul. Ataksia Friedreich akan bertambah buruk seiring
berjalannya waktu. Setelah 15-20 tahun, berbagai gejala ataksia Friedreich akan
bermunculan pada penderita sehingga harus bergantung pada kursi roda untuk
bergerak. Seringkali penderita juga mengalami penyakit jantung yang dapat
menjadi penyebab kematian.
Pengobatan ataksia Friedreich dilakukan dengan melibatkan
berbagai dokter spesialis, terutama dokter saraf, dokter ahli genetik, dan
dokter fisioterapi. Selama pengobatan, dilakukan juga peninjauan tahunan untuk
memantau kondisi saraf, jantung, otot dan tulang, serta sistem organ lain.
Pengobatan gejala ataksia Friedreich hingga saat ini masih berfokus pada terapi
antioksidan.
Beberapa jenis obat lainnya yang dapat diberikan antara lain
adalah:
·
Eritropoietin.
·
Deferiprone.
·
Pioglitazone.
·
Histone deacetylase
inhibitors.
·
Peroxisome proliferator
activated receptor gamma (PPAR-γ) agonist.
Berbagai pengobatan pendukung yang dapat diberikan kepada
penderita ataksia Friedreich untuk membantu mengendalikan gejala-gejala yang
muncul antara lain adalah:
·
Fisioterapi.
·
Terapi okupasi.
·
Pengobatan gagal jantung dan aritmia. Jika
diperlukan dapat dilakukan transplantasi jantung pada penderia ataksia
Friedreich.
·
Insulin untuk membantu mengatasi diabetes
terkait ataksia Friedreich.
·
Terapi bicara.
·
Konseling dan obat antidepresan untuk mengatasi
depresi akibat ataksia Friedreich.
Untuk mengatasi scoliosis pes cavus
pada kaki penderita ataksia Friedreich, dapat dilakukan pembedahan. Selain melalui
pembedahan, deformitas pada kaki juga dapat ditangani menggunakan botoks. Pada
penderita ataksia yang mengalami kedinginan pada kaki atau sianosis periferal,
dapat diberikan metode latihan pasif untuk mengatasi kondisi tersebut.
Gejala disfungsi sfingter (katup otot yang mengatur saluran
tubuh) harus dimonitor dan dapat diobati dengan menggunakan oxybutinin. Pada penderita yang
mengalami disfungsi seksual, dapat diobati menggunakan pengobatan disfungsi
seksual seperti umumnya. Jika muncul disfagia pada penderita, dapat dilakukan
modifikasi pola dan jenis makanan, atau dilakukan gastrostomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar