Kamis, 02 November 2017

SKIZOFRENIA



Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.

Penyakit skizofrenia bisa diidap siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Kisaran usia 15-35 tahun merupakan usia yang paling rentan terkena kondisi ini. Penyakit skizofrenia diperkirakan diidap oleh satu persen penduduk dunia.

Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) yang dipublikasikan pada tahun 2014, jumlah penderita skizofrenia di Indonesia diperkirakan mencapai 400 ribu orang.
Di Indonesia, akses terhadap pengobatan dan pelayanan kesehatan jiwa masih belum memadai. 

Akibatnya, sebagian besar penduduk di negara ini, terutama di pelosok-pelosok desa, kerap memperlakukan pasien gangguan jiwa dengan tindakan yang tidak layak seperti pemasungan.

Gejala Skizofrenia

Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua kategori, yaitu negatif dan positif. Gejala negative skizofrenia menggambarkan hilangnya sifat dan kemampuan tertentu yang biasanya ada di dalam diri orang yang normal. Sebagai contoh:

·         Keengganan untuk bersosialisasi dan tidak nyaman berada dekat dengan orang lain sehingga lebih memilih untuk berdiam di rumah.

·         Kehilangan konsentrasi.

·         Pola tidur yang berubah.

·         Kehilangan minat dan motivasi dalam segala aspek hidup, termasuk minat dalam menjalin hubungan.

Perubahan pola tidur, sikap tidak responsif terhadap keadaan, dan kecenderungan untuk mengucilkan diri merupakan gejala-gejala awal skizofrenia. Terkadang gejala tersebut sulit dikenali orang lain karena biasanya berkembang di masa remaja sehingga orang lain hanya menganggapnya sebagai fase remaja.

Ketika penderita sedang mengalami gejala negatif, dia akan terlihat apatis dan datar secara emosi (misalnya bicara monoton tanpa intonasi, bicara tanpa ekspresi wajah, dan tidak melakukan kontak mata). Mereka juga menjadi tidak peduli terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta makin menarik diri dari pergaulan. Sikap tidak peduli akan penampilan dan apatis tersebut bisa disalahartikan orang lain sebagai sikap malas dan tidak sopan. Hal ini sering kali memicu rusaknya hubungan penderita dengan keluarga ataupun dengan teman-temannya.

Gejala negatif skizofrenia bisa berlangsung beberapa tahun sebelum penderita mengalami episode akut pertama, yaitu ketika gejala menjadi parah dan kadang-kadang diikuti beberapa gejala positif.
Gejala positif skizofrenia terdiri dari:

·         Halusinasi.

Terjadi pada saat panca indera seseorang terangsang oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Fenomena halusinasi terasa sangat nyata bagi penderita. Contoh gejala halusinasi yang biasanya dialami oleh penderita skizofrenia adalah mendengar suara-suara.

·         Delusi.

Yaitu kepercayaan kuat yang tidak didasari logika atau kenyataan yang sebenarnya. Contoh gejala delusi bisa bermacam-macam. Ada penderita yang merasa diawasi, diikuti, atau khawatir disakiti oleh orang lain. Ada juga yang merasa mendapat pesan rahasia dari tayangan televisi. Gejala-gejala delusi semacam ini bisa berdampak kepada perilaku penderita skizofrenia.

·         Pikiran kacau dan perubahan prilaku.

Penderita sulit berkonsentrasi dan pikirannya seperti melayang-layang tidak tentu arah sehingga kata-kata mereka menjadi membingungkan. Penderita juga bisa merasa kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Perilaku penderita skizofrenia juga menjadi tidak terduga dan bahkan di luar normal. Misalnya, mereka menjadi sangat gelisah atau mulai berteriak-teriak dan memaki tanpa alasan.

Penting untuk mengenali gejala-gejala skizofrenia seperti di atas. Jika Anda atau keluarga Anda mengalami gejala-gejala tersebut, segera periksakan ke rumah sakit. Makin dini skizofrenia ditangani, maka peluang sembuh menjadi makin tinggi.

Penyebab Skizofrenia

Sebenarnya penyebab penyakit skizofrenia belum diketahui secara pasti oleh para ahli kesehatan. Namun ada beberapa faktor yang diduga berpengaruh dalam pembentukan kondisi ini, di antaranya:

·         Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamine (zat neurotransmiter yang bertugas membawa pesan antar sel-sel otak).

·         Bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat yang tidak normal.

·         Genetik yang diturunkan dari orangtua (penyakit keturunan).

·         Kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi, dan terpapar racun atau virus saat masih di dalam kandungan ibu.

·         Lahir prematur dan lahir dengan berat badan di bawah normal.

·         Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh akibat penyakit  dan peradangan.

·         Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti amfetamin, kokain, dan ganja.Tiga penelitian besar menunjukkan bahwa remaja pecandu ganja yang masih berusia di bawah 15 tahun memiliki risiko empat kali lipat untuk terkena skizofrenia sebelum usia 26 tahun dibandingkan remaja seumuran yang tidak memakai ganja.Di lain sisi, penggunaan kokain dan amfetamin bisa menyebabkan kumatnya gejala skizofrenia pada penderita yang sudah sembuh dan memicu gejala psikosis. Psikosis bisa dikenali dari perubahan drastis pada perilaku penderita skizofrenia, misalnya tiba-tiba bingung, cemas, marah, atau curiga pada orang-orang di sekitar.

Pemicu Skizofrenia

Yang dimaksud pemicu di sini adalah sesuatu yang dapat memunculkan gejala skizofrenia pada orang-orang yang berisiko terkena skizofrenia akibat faktor-faktor pembentuk kondisi seperti yang sudah disebutkan di atas. Pada kasus skizofrenia, stres merupakan pemicu utama. Banyak hal yang dapat menjadikan seseorang mengalami stres, di antaranya karena kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, pelecehan seksual, dan sebagainya.

Diagnosis Skizofrenia

Seorang pasien dapat terdiagnosis menderita skizofrenia apabila dia:

·         Mengalami gejala-gejala skizofrenia (misalnya delusi, halusinasi, emosi datar, perilaku atau bicaranya aneh, dan tidak memerhatikan kebersihan diri) selama sekurang-kurangnya setengah tahun.

·         Gejala tersebut menyebabkan penurunan produktivitas kerja atau prestasi di sekolah, serta menyebabkan rusaknya hubungan dengan orang lain.

·         Gejala yang ada telah dipastikan bukan disebabkan oleh kondisi lain, seperti gangguan bipolar, gangguan skizoafektif, depresi berat, atau penyalahgunaan narkoba.

Kadang-kadang dokter kesulitan untuk mendapatkan keterangan di atas jika bertanya langsung pada penderita skizofrenia karena mereka cenderung tertutup, menyangkal, atau sama sekali tidak menyadari gejala yang ada. Untuk mengatasi hal ini, dokter perlu bertanya kepada orang-orang yang mengantar penderita berobat, misalnya keluarga atau teman.

Selain evaluasi psikologis, kadang-kadang dokter juga akan memberlakukan jenis pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, dan pemeriksaan darah. Pemindaian lewat CT scan atau MRI pada kasus skizofrenia dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada struktur otak dan system saraf pusat. Sedangkan pemeriksaan darah dilakukan untuk memastikan bahwa gejala bukan disebabkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau kondisi kesehatan lainnya.

Pengobatan Skizofrenia

Dalam menangani skizofrenia, dokter akan mengombinasikan obat-obatan dengan terapi psikologis. Obat yang biasa diresepkan dalam kasus ini adalah antipsikotik. Antipsikotik bekerja dengan cara memengaruhi zat neurotransmiter di dalam otak (serotonoin dan dopamine). Pada penderita skizofrenia, obat ini bisa menurunkan agitasi dan rasa cemas, menurunkan atau mencegah halusinasi dan delusi, serta membantu menjaga kemampuan berpikir dan mengingat.

Antipsikotik digunakan dalam dua cara, yaitu oral (umumnya bentuk pil) dan suntik. Pada pasien yang mudah diatur, dokter biasanya akan memberikan pil antipsikotik. Namun sebaliknya, pada pasien yang menolak diberikan obat, terpaksa harus disuntik. Untuk menenangkan pasien yang mengalami agitasi, dokter biasanya akan memberikan benzodiazepine terlebih dahulu sebelum menyuntikkan antipsikotik.

Ada dua kelompok obat-obatan antipsikotik, yaitu antipsikotik generasi lama (misalnya fluphenazine, perphenazine,chlorpromazine, dan haloperidol) dan generasi baru (misalnya clozapine, ziprasidone, quetiapine, olanzapine, risperidone, aripiprazole, dan paliperidone).

Efek samping yang ada pada kedua kelompok antipsikotik ini adalah peningkatan berat badan, sembelit, mengantuk, pandangan kabur, mulut kering, dan berkurangnya gairah seks. Sedangkan efek samping yang hanya ada pada antipsikotik generasi lama adalah otot terasa berkedut, badan gemetar, dan kejang otot.

Saat ini, antipsikotik generasi baru merupakan obat yang paling sering direkomendasikan oleh dokter karena terbukti memiliki risiko efek samping yang lebih rendah.

Bagi penderita skizofrenia yang telah melewati episode akut, pemberian antipsikotik harus tetap dilakukan selama 1-2 tahun untuk mencegah kambuh. Namun selama periode akut belum reda, biasanya dokter akan menyarankan perawatan di rumah sakit jiwa agar kebersihan, nutrisi, kebutuhan istirahat, dan keamanan penderita terjamin.

Penanganan Melalui Terapi Psikologi

Setelah gejala skizofrenia reda, penderita membutuhkan terapi psikologis di samping harus tetap melanjutkan konsumsi obat. Di dalam terapi psikologis, penderita akan diajari cara mengatasi stres dan mengendalikan penyakit mereka melalui identifikasi tanda-tanda kambuh. Selain itu, penderita juga akan diajari cara meningkatkan kemampuan komunikasi agar bisa tetap berinteraksi secara sosial. Terapi ini juga bermanfaat untuk kembali mengembangkan kemampuan penderita dalam bekerja.

Terapi psikologis tidak hanya diperuntukkan bagi penderita. Ahli terapi juga perlu memberikan edukasi pada keluarga penderita tentang cara menghadapi skizofrenia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar