Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan
penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan
perilaku. Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan sebagai
gangguan mental mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan
pikiran sendiri.
Penyakit skizofrenia bisa diidap siapa saja, baik laki-laki
maupun perempuan. Kisaran usia 15-35 tahun merupakan usia yang paling rentan
terkena kondisi ini. Penyakit skizofrenia diperkirakan diidap oleh satu persen
penduduk dunia.
Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes) yang dipublikasikan pada tahun 2014, jumlah penderita skizofrenia di
Indonesia diperkirakan mencapai 400 ribu orang.
Di Indonesia, akses terhadap pengobatan dan pelayanan
kesehatan jiwa masih belum memadai.
Akibatnya, sebagian besar penduduk di
negara ini, terutama di pelosok-pelosok desa, kerap memperlakukan pasien
gangguan jiwa dengan tindakan yang tidak layak seperti pemasungan.
Gejala Skizofrenia
Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua kategori, yaitu
negatif dan positif. Gejala negative skizofrenia menggambarkan hilangnya sifat
dan kemampuan tertentu yang biasanya ada di dalam diri orang yang normal.
Sebagai contoh:
·
Keengganan untuk bersosialisasi dan tidak nyaman
berada dekat dengan orang lain sehingga lebih memilih untuk berdiam di rumah.
·
Kehilangan konsentrasi.
·
Pola tidur yang berubah.
·
Kehilangan minat dan motivasi dalam segala aspek
hidup, termasuk minat dalam menjalin hubungan.
Perubahan pola tidur, sikap tidak responsif terhadap keadaan,
dan kecenderungan untuk mengucilkan diri merupakan gejala-gejala awal
skizofrenia. Terkadang gejala tersebut sulit dikenali orang lain karena
biasanya berkembang di masa remaja sehingga orang lain hanya menganggapnya
sebagai fase remaja.
Ketika penderita sedang mengalami gejala negatif, dia akan
terlihat apatis dan datar secara emosi (misalnya bicara monoton tanpa intonasi,
bicara tanpa ekspresi wajah, dan tidak melakukan kontak mata). Mereka juga
menjadi tidak peduli terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta makin
menarik diri dari pergaulan. Sikap tidak peduli akan penampilan dan apatis
tersebut bisa disalahartikan orang lain sebagai sikap malas dan tidak sopan.
Hal ini sering kali memicu rusaknya hubungan penderita dengan keluarga ataupun
dengan teman-temannya.
Gejala negatif skizofrenia bisa berlangsung beberapa tahun
sebelum penderita mengalami episode akut pertama, yaitu ketika gejala menjadi
parah dan kadang-kadang diikuti beberapa gejala positif.
Gejala positif skizofrenia terdiri dari:
·
Halusinasi.
Terjadi pada saat panca indera seseorang terangsang oleh sesuatu yang
sebenarnya tidak ada. Fenomena halusinasi terasa sangat nyata bagi penderita.
Contoh gejala halusinasi yang biasanya dialami oleh penderita skizofrenia
adalah mendengar suara-suara.
·
Delusi.
Yaitu kepercayaan kuat yang tidak didasari logika atau kenyataan yang
sebenarnya. Contoh gejala delusi bisa bermacam-macam. Ada penderita yang merasa
diawasi, diikuti, atau khawatir disakiti oleh orang lain. Ada juga yang merasa
mendapat pesan rahasia dari tayangan televisi. Gejala-gejala delusi semacam ini
bisa berdampak kepada perilaku penderita skizofrenia.
·
Pikiran kacau dan perubahan prilaku.
Penderita
sulit berkonsentrasi dan pikirannya seperti melayang-layang tidak tentu arah
sehingga kata-kata mereka menjadi membingungkan. Penderita juga bisa merasa
kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Perilaku penderita skizofrenia juga
menjadi tidak terduga dan bahkan di luar normal. Misalnya, mereka menjadi
sangat gelisah atau mulai berteriak-teriak dan memaki tanpa alasan.
Penting untuk mengenali gejala-gejala skizofrenia seperti di
atas. Jika Anda atau keluarga Anda mengalami gejala-gejala tersebut, segera
periksakan ke rumah sakit. Makin dini skizofrenia ditangani, maka peluang
sembuh menjadi makin tinggi.
Penyebab Skizofrenia
Sebenarnya penyebab penyakit skizofrenia belum diketahui
secara pasti oleh para ahli kesehatan. Namun ada beberapa faktor yang diduga
berpengaruh dalam pembentukan kondisi ini, di antaranya:
·
Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamine
(zat neurotransmiter yang bertugas membawa pesan antar sel-sel otak).
·
Bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat yang
tidak normal.
·
Genetik yang diturunkan dari orangtua (penyakit
keturunan).
·
Kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi, dan
terpapar racun atau virus saat masih di dalam kandungan ibu.
·
Lahir prematur dan lahir dengan berat badan di
bawah normal.
·
Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh
akibat penyakit dan peradangan.
·
Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti
amfetamin, kokain, dan ganja.Tiga penelitian besar menunjukkan bahwa remaja
pecandu ganja yang masih berusia di bawah 15 tahun memiliki risiko empat kali
lipat untuk terkena skizofrenia sebelum usia 26 tahun dibandingkan remaja
seumuran yang tidak memakai ganja.Di lain sisi, penggunaan kokain dan amfetamin
bisa menyebabkan kumatnya gejala skizofrenia pada penderita yang sudah sembuh
dan memicu gejala psikosis. Psikosis bisa dikenali dari perubahan drastis pada
perilaku penderita skizofrenia, misalnya tiba-tiba bingung, cemas, marah, atau
curiga pada orang-orang di sekitar.
Pemicu Skizofrenia
Yang dimaksud pemicu di sini adalah sesuatu yang dapat
memunculkan gejala skizofrenia pada orang-orang yang berisiko terkena
skizofrenia akibat faktor-faktor pembentuk kondisi seperti yang sudah
disebutkan di atas. Pada kasus skizofrenia, stres merupakan pemicu utama.
Banyak hal yang dapat menjadikan seseorang mengalami stres, di antaranya karena
kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kehilangan orang yang dicintai,
perceraian, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Diagnosis Skizofrenia
Seorang pasien dapat terdiagnosis menderita skizofrenia
apabila dia:
·
Mengalami gejala-gejala skizofrenia (misalnya
delusi, halusinasi, emosi datar, perilaku atau bicaranya aneh, dan tidak
memerhatikan kebersihan diri) selama sekurang-kurangnya setengah tahun.
·
Gejala tersebut menyebabkan penurunan
produktivitas kerja atau prestasi di sekolah, serta menyebabkan rusaknya
hubungan dengan orang lain.
·
Gejala yang ada telah dipastikan bukan
disebabkan oleh kondisi lain, seperti gangguan bipolar, gangguan skizoafektif,
depresi berat, atau penyalahgunaan narkoba.
Kadang-kadang dokter kesulitan untuk mendapatkan keterangan
di atas jika bertanya langsung pada penderita skizofrenia karena mereka
cenderung tertutup, menyangkal, atau sama sekali tidak menyadari gejala yang
ada. Untuk mengatasi hal ini, dokter perlu bertanya kepada orang-orang yang
mengantar penderita berobat, misalnya keluarga atau teman.
Selain evaluasi psikologis, kadang-kadang dokter juga akan
memberlakukan jenis pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, dan pemeriksaan
darah. Pemindaian lewat CT scan atau MRI pada kasus skizofrenia dimaksudkan
untuk melihat adanya kelainan pada struktur otak dan system saraf pusat.
Sedangkan pemeriksaan darah dilakukan untuk memastikan bahwa gejala bukan
disebabkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau kondisi kesehatan lainnya.
Pengobatan Skizofrenia
Dalam menangani skizofrenia, dokter akan mengombinasikan
obat-obatan dengan terapi psikologis. Obat yang biasa diresepkan dalam kasus
ini adalah antipsikotik. Antipsikotik bekerja dengan cara memengaruhi zat
neurotransmiter di dalam otak (serotonoin dan dopamine). Pada penderita
skizofrenia, obat ini bisa menurunkan agitasi dan rasa cemas, menurunkan atau
mencegah halusinasi dan delusi, serta membantu menjaga kemampuan berpikir dan
mengingat.
Antipsikotik digunakan dalam dua cara, yaitu oral (umumnya
bentuk pil) dan suntik. Pada pasien yang mudah diatur, dokter biasanya akan
memberikan pil antipsikotik. Namun sebaliknya, pada pasien yang menolak
diberikan obat, terpaksa harus disuntik. Untuk menenangkan pasien yang
mengalami agitasi, dokter biasanya akan memberikan benzodiazepine terlebih
dahulu sebelum menyuntikkan antipsikotik.
Ada dua kelompok obat-obatan antipsikotik, yaitu
antipsikotik generasi lama (misalnya fluphenazine,
perphenazine,chlorpromazine, dan haloperidol) dan generasi baru (misalnya clozapine, ziprasidone, quetiapine,
olanzapine, risperidone, aripiprazole, dan paliperidone).
Efek samping yang ada pada kedua kelompok antipsikotik ini
adalah peningkatan berat badan, sembelit, mengantuk, pandangan kabur, mulut
kering, dan berkurangnya gairah seks. Sedangkan efek samping yang hanya ada
pada antipsikotik generasi lama adalah otot terasa berkedut, badan gemetar, dan
kejang otot.
Saat ini, antipsikotik generasi baru merupakan obat yang
paling sering direkomendasikan oleh dokter karena terbukti memiliki risiko efek
samping yang lebih rendah.
Bagi penderita skizofrenia yang telah melewati episode akut,
pemberian antipsikotik harus tetap dilakukan selama 1-2 tahun untuk mencegah
kambuh. Namun selama periode akut belum reda, biasanya dokter akan menyarankan
perawatan di rumah sakit jiwa agar kebersihan, nutrisi, kebutuhan istirahat,
dan keamanan penderita terjamin.
Penanganan Melalui
Terapi Psikologi
Setelah gejala skizofrenia reda, penderita membutuhkan
terapi psikologis di samping harus tetap melanjutkan konsumsi obat. Di dalam
terapi psikologis, penderita akan diajari cara mengatasi stres dan
mengendalikan penyakit mereka melalui identifikasi tanda-tanda kambuh. Selain
itu, penderita juga akan diajari cara meningkatkan kemampuan komunikasi agar
bisa tetap berinteraksi secara sosial. Terapi ini juga bermanfaat untuk kembali
mengembangkan kemampuan penderita dalam bekerja.
Terapi psikologis tidak hanya diperuntukkan bagi penderita.
Ahli terapi juga perlu memberikan edukasi pada keluarga penderita tentang cara
menghadapi skizofrenia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar