Pengertian
Strongiloidiasis
Strongiloidiasis merupakan infeksi yang terjadi pada tubuh
akibat cacing gelang spesies Strongyloides stercoralis.
Cacing ini dapat hidup pada tubuh manusia yang dijadikan inang sebagai parasit
dan mengambil nutrisi yang diperoleh manusia melalui makanan. Selain cacing
jenis Strongyloides stercoralis,
strongiloidiasis juga dapat disebabkan oleh cacing jenis Strongyloides fulleborni. Namun,
infeksi strongiloidiasis oleh cacing jenis tersebut jarang terjadi. Cacing Strongyloides umumnya hidup
di daerah dengan iklim tropis dan subtropis, namun tak jarang pula ditemukan di
daerah beriklim sedang.
Cacing S. stercoralis dapat
menginfeksi manusia melalui kulit oleh larva cacing yang bersifat sangat
infektif. Larva cacing Strongyloides dapat
menembus organ tubuh manusia, kemudian mencapai usus dan bersarang di usus.
Setelah mencapai usus, larva cacing Strongyloides
akan bermetamorfosis menjadi cacing dewasa dan bertelur. Telur akan menetas
menjadi larva di saluran pencernaan dan terbawa bersama feses keluar tubuh
manusia. Akan tetapi larva cacing juga dapat menembus kembali lapisan epitel
usus dan kulit sekitar anus, yang menyebabkan infeksi cacing bertambah lama.
Siklus hidup larva yang menembus usus ini disebut sebagai infeksi perpetua atau
siklus autoinfeksi.
Gejala
Strongiloidiasis
Umumnya strongiloidiasis tidak menimbulkan gejala sama
sekali (asimptomatik). Namun, pada beberapa kasus, penderita infeksi ini
mengalami gejala-gejala seperti:
·
Nyeri perut bagian atas atau sensasi terbakar.
·
Diare dan konstipasi yang bergantian secara
berkala.
·
Batuk.
·
Ruam.
·
Bercak merah pada kulit di dekat anus.
·
Muntah.
·
Kehilangan berat badan.
Penyebab
Strongiloidiasis
Strongiloidiasis disebabkan oleh cacing genus Strongyloides, yaitu S. stercoralis serta S. fulleborni. Siklus hidup cacing Strongyloides yang dapat terjadi
pada tubuh manusia adalah sebagai berikut:
·
Memiliki sistem imun yang lemah akibat HIV/AIDS
atau infeksi lainnya.
·
Tidak mempraktekan pola hidup bersih dan sehat.
·
Bepergian ke daerah dengan sanitasi yang buruk.
·
Sering berjalan atau bepergian tanpa alas kaki.
·
Sering terpapar kotoran manusia secara langsung.
·
Memiliki pekerjaan yang di dalamnya ada risiko
kontak dengan kotoran manusia atau tanah yang terkontaminasi, seperti tanah
pertanian atau pertambangan.
Selain itu, pada beberapa studi, diketahui bahwa risiko
terkena strongiloidiasis lebih besar pada seseorang yang juga terkena infeksi
virus Human T-Cell LymphotropicVirus-1 (HTLV-1).
Pada orang dengan infeksi HTLV-1, akan lebih mudah terkena strongiloidiasis
berat jika terjadi infeksi cacing Strongyloides.
Diagnosis Strongiloidiasis
Untuk memastikan apakah seseorang terkena infeksi cacing Strongyloides atau tidak dapat
dilakukan langkah-langkah berikut ini:
·
Aspirasi duodenal.
Metode ini dilakukan dengan mengambil cairan dari duodenum, kemudian dianalisis
di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan cacing Strongyloides.
·
Tes cairan tubuh.
Cairan tubuh seperti ingus, ludah, dan cairan paru-paru dapat diambil
untuk mendeteksi keberadaan larva cacing terutama Strongyloides
stercoralis.
·
Tes darah.
Tes darah untuk menghitung kadar sel darah putih, terutama eosinofil,
dapat dilakukan pada pasien yang diduga mengalami strongiloidiasis. Pada
infeksi strongiloidiasis akut dan kronis, akan terjadi peningkatan jumlah
eosinofil.
Peningkatan eosinofil dapat terjadi sekitar 10-80 persen pada infeksi
strongiloidiasis akut. Sedangkan pada penderita strongiloidiasis kronis,
peningkatan eosinofil hanya terjadi sewaktu-waktu (intermittent).
Pemeriksaan kultur darah sangat dianjurkan bagi penderita strongiloidiasis,
karena biasanya juga terdapat koinfeksi dengan bakteri coli, Klebsiella,
dan bakteri enterik lain.
·
Tes antigen.
Tes antigen yang diambil dari darah dapat menunjukkan terjadinya infeksi
cacing Strongyloides pada pasien. Akan
tetapi, metode tes antigen tidak dapat membedakan infeksi yang sedang terjadi
saat ini atau yang pernah terjadi sebelumnya.
·
Studi sampel feses.
Larva cacing Strongyloides
akan ikut terbawa bersama feses keluar dari tubuh manusia. Feses dari penderita
strongiloidiasis dapat diuji dengan menggunakan mikroskop untuk mengamati
keberadaan larva cacing stercoralis dan
telur cacing S. fulleborni. Untuk memperoleh
hasil pengamatan sampel feses yang akurat, diperlukan setidaknya tiga kali
pemeriksaan dengan menggunakan tiga sampel feses yang diambil pada waktu
berbeda. Hal tersebut bertujuan agar hasil studi feses lebih akurat karena
cacing Strongyloides hanya bertelur pada
waktu tertentu saja.
·
Kultur sempel feses.
Tujuan
dari metode diagnosis ini adalah untuk mendeteksi keberadaan cacing dengan
membiakkan larva atau telur dari feses pada medium khusus untuk cacing. Cacing Strongyloides dapat bermetagenesis
menjadi cacing yang hidup bebas dan dapat dibiakkan di kultur.
Pengobatan Strongiloidiasis
Tujuan pengobatan strongiloidiasis yang paling utama adalah
menghilangkan cacing di dalam tubuh tanpa menimbulkan komplikasi dan kematian
penderita. Penderita strongiloidiasis harus segera diobati sedini mungkin pada
penderita yang terduga mengalaminya, meskipun tidak menimbulkan gejala.
Perlu diingat bahwa cacing genus Strongyloides
merupakan salah satu golongan cacing yang paling sulit dibasmi. Penderita strongiloidiasias
harus diisolasi dari kontak dengan orang lain agar memperkecil kemungkinan
penularan melalui ludah, feses, cairan tubuh dan muntahan. Penderita juga harus
diobati dengan baik untuk mencegah autoinfeksi akibat strongiloidiasis atau
infeksi sekunder akibat patogen lain.
Beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk mengobati
penderita strongiloidiasis adalah sebagai berikut:
·
Antelmintik.
Terapi antelmintik merupakan pengobatan paling utama dalam menyembuhkan
penderita strongiloidiasis. Beberapa jenis antelmintik yang biasa digunakan
adalah:
a.
Benzimidazole.
Obat ini membasmi cacing dengan cara mencegah cacing menghasilkan energi
untuk keperluan tubuhnya. Benzimidazole
tidak hanya membunuh cacing dewasa, namun juga dapat membasmi larva dan telur
cacing. Contoh obat ini adalah thiabendazole, membenzole,
dan albendazole.
b.
Invermectin.
Obat ini merupakan obat antiparasit berspektrum luas yang juga dapat
membasmi cacing parasit. Dalam membasmi cacing Strongyloides,
Ivermectin bekerja dengan cara menghambat sistem koordinasi,
khususnya neurotransmitter organisme tersebut. Ivermectin
memiliki kemampuan membasmi cacing dengan sangat baik hingga mencapai 97%.
c.
Cyclosporine A.
Cyclosporine A merupakan obat
imunosupresan yang juga memiliki kemampuan antelmintik. Cyclosporine A dapat digunakan pada
penerima transplantasi organ yang diduga juga mengalami infeksi
strongiloidiasis.
·
Antibiotik.
Antibiotik
dapat diberikan kepada penderita strongiloidiasis jika diduga juga mengalami
infeksi sekunder, terutama dari bakteri enterik. Antibiotik dapat diberikan
selama 2-4 minggu jika penderita menunjukkan gejala meningitis atau bakteremia
pada saat pengobatan strongiloidiasis dilakukan.
Komplikasi Strongiloidiasis
Jika tidak diobati dengan baik, infeksi Strongyloides dapat menimbulkan
komplikasi pada penderitanya. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat
strongiloidiasis adalah:
·
Pneumonia eosinofilik.
Komplikasi ini dapat terjadi sebagai respons tubuh yang memproduksi
eosinofil dalam jumlah tinggi untuk membasmi cacing. Pneumonia eosinofilik
dapat terjadi jika cacing memasuki paru-paru, sehingga eosinofilik di paru-paru
akan meningkat dan menyebabkan pembengkakan organ tersebut.
·
Malnutrisi.
Cacing Strongyloides yang tinggal di dalam
usus dapat menyebabkan usus tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik. Hal ini
dapat menyebabkan penderita kekurangan gizi akibat penyerapan makanan yang
terganggu.
·
Strongiloidiasis terdiseminasi.
Komplikasi
ini terjadi jika cacing Strongyloides
tersebar ke berbagai organ dalam tubuh saat sistem imun terganggu akibat
imunosupresan atau infeksi virus. Strongiloidiasis terdiseminasi dapat terjadi
pada saat cacing berganti siklus hidup (metagenesis) yang menyebabkan cacing
masuk ke dalam usus dan memasuki aliran darah kembali. Gejala strongiloidiasis
terdiseminasi adalah nyeri dan pembengkakan abdomen, syok, komplikasi saraf dan
paru-paru, serta bakteremia atau sepsis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar