Pengertian
Paratifus
Paratifus adalah penyakit infeksi bakteri yang menyerang
usus dan aliran darah. Penyakit paratifus memiliki gejala yang mirip dengan
dengan penyakit tifus, namun lebih ringan, jarang menimbulkan komplikasi, dan
dapat lebih cepat sembuh bila dibandingkan dengan tifus.
Tidak hanya gejala, penyakit paratifus juga memiliki cara
penularan yang sama dengan penyakit tifus, yaitu melalui konsumsi makanan atau
minuman yang sudah terkontaminasi tinja orang yang terinfeksi bakteri, baik
infeksi akut maupun kronik yang tidak bergejala (karier). Hubungan seksual
sesama jenis juga bisa menjadi penyebab paratifus, walaupun kasusnya tergolong
sangat sedikit.
Akan tetapi, paratifus atau demam paratifoid berbeda dengan
penyakit tifus (demam tifoid) jika dilihat dari bakteri penyebabnya. Tifus
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi,
sedangkan paratifus disebabkan oleh bakteri Salmonella paratyphi.
Infeksi bakteri penyebab paratifus banyak ditemui di
negara-negara yang pendapatan per kapitanya rendah, terutama di daerah-daerah
yang pasokan air bersih dan sanitasinya tergolong buruk. Negara-negara yang
rentan dijangkiti paratifus adalah negara-negara di Asia Tenggara, China,
Nepal, India,
Pakistan, Bangladesh, Papua Nugini, Kepulauan Karibia, negara-negara
di Amerika tengah dan selatan, sejumlah negara Timur Tengah, serta mayoritas
negara di Afrika. Bila dibandingkan dengan penyakit tifus, penyakit paratifus
ini lebih jarang terjadi, dengan perbandingan 1 banding 4 kasus.
Gejala
Paratifus
Gejala-gejala paratifus biasanya ditandai dengan:
·
Demam.
·
Sakit kepala.
·
Tidak nafsu makan (anoreksia) dan berat badan
menurun.
·
Rasa tidak enak badan (malaise).
·
Pembesaran organ limpa dan hati.
·
Frekuensi denyut jantung lebih rendah dari
seharusnya.
·
Kontipasi atau diare, dimana konstipasi lebih
sering dibandingkan dengan diare.
·
Mual.
·
Batuk kering.
·
Nyeri perut.
·
Munculnya ruam-ruam merah di badan (rose spot).
·
Perubahan kondisi mental, misalnya kebingungan.
·
Septikemia (infeksi darah).
Masa inkubasi paratifus berkisar antara 1-10 hari sebelum
menimbulkan sejumlah gejala awal. Gejala kemudian dapat memburuk pada hari ke-3
atau ke-4. Paratifus akan menjangkiti penderitanya selama kurang-lebih empat
minggu.
Komplikasi dapat muncul pada minggu ke-2 atau ke-3 setelah
terserang penyakit, bila tidak segera ditangani. Pada kasus yang berat infeksi
paratifus dapat menimbulkan gejala seperti gangguan kesadaran, pasien tampak
bingung, kejang, perdarahan saluran cerna, hingga sepsis.
Penyebab
Paratifus
Bakteri Salmonella paratyphi
penyebab paratifus dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Salmonella
paratyphi A, Salmonella paratyphi B (Salmonella schottmuelleri),
dan Salmonella paratyphi C (Salmonella
hirschfeldii).
Paratifus dapat menular apabila si penderita tidak mencuci
tangan setelah dari toilet. Bakteri yang menempel di tangan si penderita
setelah tidak sengaja menyentuh feses atau urinenya sendiri, dapat menempel di
permukaan benda-benda (atau bahkan makanan) yang dipegangnya. Bakteri yang
menempel inilah yang akan menular ke orang lain apabila mereka turut
menyentuhnya kemudian makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.
Sumber air yang terkontaminasi bakteri pun bisa menjadi
media penularan infeksi. Selain itu, penyakit paratifus juga berisiko
ditularkan oleh penderita tifus yang sudah sembuh namun masih membawa bakteri
dalam tubuh mereka.
Paratifus memang bisa diderita oleh siapa pun, namun
beberapa kondisi berikut ini dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
terjangkit paratifus:
·
Infeksi, sepert malaria,skistosomiasis, histoplamosis,
dan bartonellosis.
·
Menurunnya kadar asam lambung pada penggunaan
obat maag seperti antasida, ranitidine, dan omeprazole, serta pada
penyakit-penyakit kelainan usus seperti crohn,s disease, colitis ulseratif, dan
kanker di saluran pencernaan.
·
Kelainan hemoglobin, terutama anemia sel sabit.
·
Penderita radang selaput otak atau meningitis.
·
Kondisi-kondisi yang menyebabkan tingkat
kekebalan tubuh menurun.
Diagnosis
Paratifus
Dokter dapat mencurigai seorang pasien menderita paratifus
berdasarkan gejala-gejala yang dialaminya, riwayat kesehatan, serta pemeriksaan
fisik.
Terdapat dua metode untuk mendiagnosis paratifus, antara
lain:
·
Kultur bakteri.
Pemeriksaan kultur bakteri bertujuan mengisolasi dan melihat pertumbuhan
bakteri di dalam tubuh. Kultur darah merupakan alat diagnosis utama dalam
mendiagnosis penyakit paratifus. Sayangnya kultur darah hanya positif pada 50%
kasus dan diperlukan pemeriksaan kultur berkali-kali. Selain darah, dokter juga
dapat mengambil sampel dari tinja, urine, dan sumsum tulang. Kultur dari sampel
sumsum tulang dapat meningkatkan keberhasilan diagnosis hingga 80%.
·
Deteksi antibody.
Pemeriksaan
yang paling banyak dipakai yaitu tes Widal. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
antibodi tubuh terhadap infeksi tifus maupun paratifus. Bila terdapat
peningkatan sampai 4 kali dari nilai normal, dinyatakan widal postif. Namun
pemeriksaan ini tidak begitu akurat dan sensitif, dikarenakan antibodi yang
dihasilkan tubuh banyak dipengaruhi oleh beberapa hal seperti infeksi bakteri
lain dan pemberian vaksinasi sebelumnya. Meski demikian, pemeriksaan Widal
tetap banyak dilakukan untuk mendiagnosis demam tifus dan paratifus, khususnya
di negara-negara berkembang, karena mudah dilakukan dan tidak mahal. Selain
Widal, deteksi antibodi dapat diperiksa dengan metode yang lebih baru, yaitu
TUBEX-PA. Tetap, pemeriksaan ini tidak dapat menggantikan pemeriksaan kultur
dalam mendiagnosis demam paratifus.
Pengobatan
Paratifus
Pengobatan paratifus hampir sama dengan perawatan pada
tifus. Jika gejala-gejala sudah muncul, sangat disarankan untuk memperoleh
obat-obatan antibiotik dari dokter. Antibiotik berguna untuk membunuh bakteri,
mengurangi risiko terjadinya komplikasi, serta meredakan demam.
Kuinolon seperti ciprofloxacin telah digunakan secara luas dalam
mengobati demam tifus dan paratifus menggantikan antibiotik lini pertama
sebelumnya, yaitu chloramphenicol, ampicillin, amoxicillin, dan kotrimoksazol.
Bila ciprofloxacin tidak mempan atau sudah resisten, dapat diberikan
azithromycin atau antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga, baik tablet seperti
cefixime atau suntikan seperti ceftriaxone. Pasien paratifus yang diberikan
antibiotik mungkin masih akan mengalami demam selama 3-5 hari setelah terapi.
Selain antibiotik, kecukupan nutrisi dan cairan, serta obat
penurun demam, dibutuhkan dalam pengobatan demam paratifus. Perawatan pasien
paratifus dapat dilakukan di rumah. Namun bila pasien terus menerus muntah dan
diare, disertai dengan perut yang tegang dan membesar (distensi), segera temui
dokter Anda, karena kemungkinan diperlukan perawatan di rumah sakit dengan
obat-obatan dan cairan yang akan diberikan lewat infus.
Pencegahan
Paratifus
Tidak seperti tifus yang memiliki vaksin untuk mencegah
penyakit, sampai dengan saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penyakit
paratifus. Vaksin yang ada untuk tifus tidak efektif terhadap penyakit
paratifus. Beberapa penelitian menduga bahwa vaksin untuk tifus dalam bentuk
kapsul dapat memberikan perlindungan terhadap paratifus, namun sampai dengan
saat ini tetap belum ada vaksin untuk paratifus secara resmi.
Walaupun tidak ada imunisasi untuk mencegah paratifus,
risiko terjadinya penularan penyakit paratifus bisa diturunkan dengan melakukan
hal-hal berikut ini:
·
Membiasakan diri mencuci tangan dengan sabun dan
air bersih sebelum makan atau seusai buang air kecil dan besar.
·
Tidak berbagi makanan, minuman, peralatan makan
dan minum, serta peralatan mandi dengan penderita paratifus.
·
Tidak mengonsumsi makanan mentah atau setengah
matang, terutama bila makan di pinggir jalan.
·
Kupas kulit buah bila Anda ingin mengonsumsinya.
·
Minum air dalam kemasan.
·
Hindari minuman dengan es yang tidak Anda buat
sendiri.
Komplikasi
Paratifus
Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan oleh paratifus, di
antaranya adalah pneumonia, infeksi saluran kemih, peradangan organ jantung
atau pankreas, meningitis, perdarahan usus, dan pecah atau robeknya usus
(perforasi usus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar