Selasa, 13 Desember 2016

ASMA



Pengertian Asma

Asma adalah jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas yang menimbulkan sesak atau sulit bernapas. Selain sulit bernapas, penderita asma juga bisa mengalami gejala lain seperti nyeri dada, batuk-batuk, dan mengi. Asma bisa diderita oleh semua golongan usia, baik muda atau tua.

Meskipun penyebab pasti asma belum diketahui secara jelas, namun ada beberapa hal yang kerap memicunya, seperti asap rokok, debu, bulu binatang, aktivitas fisik, udara dingin, infeksi virus, atau bahkan terpapar zat kimia.

Bagi seseorang yang memiliki penyakit asma, saluran pernapasannya lebih sensitif dibandingkan orang lain yang tidak hidup dengan kondisi ini. Ketika paru-paru teriritasi pemicu di atas, maka otot-otot saluran pernapasan penderita asma akan menjadi kaku dan membuat saluran tersebut menyempit. Selain itu, akan terjadi peningkatan produksi dahak yang menjadikan bernapas makin sulit dilakukan.

Penderita Asma di Indonesia

Laporan riset kesehatan dasar oleh Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 memperkirakan jumlah pasien asma di Indonesia mencapai 4.5 persen dari total jumlah penduduk. Provinsi Sulawesi Tengah menduduki peringkat penderita asma terbanyak sebanyak 7.8 persen dari total penduduk di daerah tersebut.

Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Mei tahun 2014, angka kematian akibat penyakit asma di Indonesia mencapai 24.773 orang atau sekitar 1,77 persen dari total jumlah kematian penduduk. Setelah dilakukan penyesuaian umur dari berbagai penduduk, data ini sekaligus menempatkan Indonesia di urutan ke-19 di dunia perihal kematian akibat asma.

Gejala Asma

Gejala utama asma meliputi sulit bernapas (terkadang bisa membuat penderita megap-megap), batuk-batuk, dada yang terasa sesak, dan mengi (suara yang dihasilkan ketika udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit). Apabila gejala ini kumat, sering kali penderita asma menjadi sulit tidur.

Tingkat keparahan gejala asma bervariasi, mulai dari yang ringan hingga parah. Memburuknya gejala biasanya terjadi pada malam hari atau dini hari. Sering kali hal ini membuat penderita asma menjadi sulit tidur dan kebutuhan akan inhaler semakin  sering. Selain itu, memburuknya gejala juga bisa dipicu oleh reaksi alergi atau aktivitas fisik.

Gejala asma yang memburuk secara signifikan disebut serangan asma. Serangan asma biasanya terjadi dalam kurun waktu 6-24 jam, atau bahkan beberapa hari. Meskipun begitu, ada beberapa penderita yang gejala asmanya memburuk dengan sangat cepat kurang dari waktu tersebut.
Selain sulit bernapas, sesak dada, dan mengi yang memburuk secara signifikan, tanda-tanda lain serangan asma parah dapat meliputi:

·         Inhaler pereda yang tidak ampuh lagi dalam mengatasi gejala.
·         Gejala batuk, mengi dan sesak di dada semakin parah dan sering.
·         Sulit bicara, makan, atau tidur akibat sulit bernapas.
·         Bibir dan jari-jari yang terlihat biru.
·         Denyut jantung yang meningkat.
·         Merasa pusing, lelah, atau mengantuk.
·         Adanya penurunan arus puncak ekspirasi.

Penyebab Asma

Penyebab asma secara pasti masih belum diketahui. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang dapat memicu kemunculan gejala penyakit ini, di antaranya:

·         Infeksi paru-paru dan saluran napas yang umumnya menyerang saluran napas bagian atas seperti flu.

·         Alergen (bulu hewan, tungau debu, dan serbuk bunga).

·         Paparan zat di udara, misalnya asap kimia, asap rokok, dan polusi udara.

·         Faktor kondisi cuaca, seperti cuaca dingin, cuaca berangin, cuaca panas yang didukung kualitas udara yang buruk, cuaca lembap, dan perubahan suhu yang drastis.

·         Kondisi interior ruangan yang lembap, berjamur, dan berdebu.

·         Stres.

·         Emosi yang berlebihan (kesedihan yang berlarut-larut, marah berlebihan, dan tertawa terbahak-bahak).

·         Aktivitas fisik (misalnya olahraga).

·         Obat-obatan, misalnya obat pereda nyeri anti-inflamasi nonsteroid (aspirin, naproxen, dan ibuprofen) dan obat penghambat beta (biasanya diberikan pada penderita gangguan jantung atau hipertensi).

·         Makanan atau minuman yang mengandung sulfit (zat alami yang kadang-kadang digunakan sebagai pengawet), misalnya selai, udang, makanan olahan, makanan siap saji, minuman kemasan sari buah, bir, dan wine.

·         Alergi makanan (misalnya kacang-kacangan).

·         Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) atau penyakit di mana asam lambung kembali naik ke kerongkongan sehngga mengiritasi saluran cerna bagian atas.

Sangat penting untuk mengetahui apa yang kerap memicu munculnya gejala apabila Anda adalah seorang penderita asma. Setelah mengetahuinya, hindari hal-hal tersebut karena itu merupakan cara terbaik bagi Anda untuk mencegah terjadinya serangan asma.

Saluran pernapasan orang yang memiliki asma lebih sensitif dan mudah mengalami inflamasi dibandingkan dengan orang-orang normal ketika teriritasi oleh pemicu-pemicu yang telah disebutkan di atas.

Saat gejala asma muncul, saluran pernapasan akan menyempit dan otot-otot di sekitar saluran tersebut mengencang. Selain itu, ada peningkatan peradangan pada lapisan saluran pernapasan dan produksi dahak yang makin menambah penyempitan pada saluran pernapasan.

Dengan menyempitnya bagian-bagian dari saluran pernapasan, maka udara akan lebih sulit mengalir dan penderita menjadi makin sulit bernapas.

Menurut penelitian, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk terkena penyakit asma, di antaranya: 

·         Memiliki keluarga dengan riwayat penyakit asma.

·         Alergi atopik (kondisi yang berkaitan dengan alergi, misalnya alergi makanan dan eksim.

·         Mengidap penyakit bronkiolitis atau infeksi paru-paru saat masih kecil.

·         Lahir dengan berat badan di bawah normal, yaitu kurang dari dua kilogram.

·         Kelahiran prematur, terutama jika membutuhkan ventilator.

·         Terpapar asap rokok saat masih kecil. Pada kasus ibu yang merokok saat hamil, risiko anak untuk menderita asma akan meningkat.

Diagnosis Asma

Untuk mengetahui apakah seorang pasien menderita penyakit asma, dokter perlu melakukan sejumlah tes. Namun sebelum tes dilakukan, dokter biasanya akan mengajukan pertanyaan seputar gejala yang dirasakan, misalnya apakah pasien suka mengalami sesak napas, nyeri dada, mengi, sulit bicara, dan kondisi bibir atau kuku berubah warna menjadi kebiruan.

Jika jawabannya positif, maka selanjutnya dokter akan bertanya mengenai waktu kemunculan gejala tersebut. Misalnya apakah ketika malam hari atau dini hari, ketika berolahraga, ketika merokok, ketika berada di dekat binatang berbulu, ketika tertawa, ketika merasa stres, atau tidak bisa diprediksi. Selain itu, dokter juga perlu menanyakan apakah pasien memiliki keluarga yang memiliki riwayat penyakit asma atau alergi.

Jika seluruh keterangan yang diberikan oleh pasien mengarah pada penyakit asma, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium.  Tes laboratorium bisa dilakukan untuk memperkuat bukti. Tes yang paling sering dilakukan adalah spirometri. Di dalam tes ini, pasien akan diminta dokter untuk menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secepat mungkin ke sebuah alat yang dinamakan spirometer. Tujuan tes ini adalah untuk mengukur kinerja paru-paru dengan berpatokan kepada volume udara yang dapat pasien embuskan dalam satu detik dan jumlah total udara yang diembuskan.  Adanya hambatan pada saluran pernapasan yang mengarah kepada asma dapat diketahui oleh dokter setelah membandingkan data yang didapat dengan ukuran yang dianggap sehat pada orang-orang seusia pasien. Selain berpatokan pada ukuran sehat, asma juga bisa dideteksi melalui spirometri dengan cara membandingkan data awal dengan data setelah pasien diberikan obat inhaler. Jika setelah diberikan inhaler hasilnya menjadi lebih bagus, maka pasien kemungkinan besar menderita asma.

Tes berikutnya yang bisa dipakai untuk mendiagnosis asma adalah tes kadar arus ekspirasi puncak.  Di dalam tes yang dibantu dengan alat bernama peak flow meter (PFM) ini , kecepatan udara dari paru-paru dalam sekali napas yang bisa diembuskan oleh pasien akan diukur guna mendapatkan data tingkat arus ekspirasi puncak (PEFR). Dokter biasanya menyarankan pasien untuk membeli sebuah PFM untuk digunakan di rumah, serta membuat sebuah catatan PEFR tiap harinya. Selain itu, pasien juga akan disarankan untuk mencatat tiap gejala yang muncul agar dokter bisa mengetahui kapan asma memburuk.

Jika pasien merasa bahwa gejala gangguan pernapasan kerap pulih ketika sedang tidak bekerja, kemungkinan pasien mengidap asma yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan. Kemungkinan di tempat pasien bekerja terdapat zat-zat yang memicu kambuhnya gejala asma.  Hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang berprofesi sebagai perawat, pegawai pabrik pengolahan bahan kimia, staf laboratorium, tukang cat, tukang las, pekerja pengolahan kayu, pengurus hewan, dan pekerja pengolahan makanan. Untuk mendukung diagnosis, biasanya dokter akan meminta pasien melakukan tes aliran ekspirasi puncak (PEFR) dengan menggunakan peak flow meter (PFM), baik di tempat bekerja maupun di luar lingkungan kerja. Dari data yang didapat, dokter bisa memperkirakan apakah pasien mengidap asma akibat pekerjaan.

Jika Anda terdiagnosis mengidap asma akibat paparan zat di lingkungan pekerjaan, informasikan hasil diagnosis tersebut kepada perusahaan tempat Anda bekerja, terutama pada bagian layanan kesehatan kerja. Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesehatan karyawan.
Contohnya, apabila asma Anda dipicu kandungan zat yang ada pada bahan baku produksi, maka minta perusahaan untuk memberi Anda perlengkapan yang dapat melindungi diri dari paparan zat tersebut atau memindahkan Anda ke divisi lain yang tidak melibatkan pengolahan secara langsung. Hal ini bisa coba Anda ajukan apabila perusahaan tidak memungkinkan untuk mengganti bahan-bahan produksi tersebut dengan bahan-bahan yang lebih aman.

Jika dalam waktu setahun Anda tetap sering terkena asma ketika berada di tempat kerja, maka pertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru.

Selain spirometri dan tes kadar arus ekspirasi puncak, beberapa tes lainnya mungkin dibutuhkan pasien untuk memperkuat dugaan asma atau membantu mendeteksi penyakit-penyakit selain asma. Contoh-contoh tes tersebut adalah:

·         Tes untuk melihat adanya peradangan pada saluran napas.

Dalam tes ini, dokter akan mengukur kadar oksida nitrat dalam napas ketika pasien bernapas. Jika kadar zat tersebut tinggi, maka bisa jadi merupakan tanda-tanda peradangan pada saluran pernapasan. Selain oksida nitrat, dokter juga akan mengambil sampel dahak untuk mengecek apakah paru-paru pasien mengalami radang.

·         Tes responsivitas saluran pernapasan (Uji provokasi bronkus).

Tes ini digunakan untuk memastikan bagaimana saluran pernapasan pasien bereaksi ketika terpapar salah satu pemicu asma. Dalam tes ini, pasien biasanya akan diminta menghirup serbuk kering (mannitol). Setelah itu pasien akan diminta untuk menghembuskan napas ke dalam spirometer untuk mengukur seberapa tinggi tingkat perubahan FEV1 dan FVC setelah terkena pemicu. Jika hasilnya turun drastis, maka dapat diperkirakan pasien mengidap asma. Pada anak-anak, selain mannitol, media yang bisa dipakai untuk memicu asma adalah olah raga.

·         Pemeriksaan status alergi.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah gejala-gejala asma yang dirasakan oleh pasien disebabkan oleh alergi. Misalnya alergi pada makanan, tungau, debu, serbuk sari, atau gigitan serangga.

·         CT scan.

Pemeriksaan ini bisa dilakukan oleh dokter apabila mencurigai bahwa gejala sesak napas pada diri pasien bukan disebabkan oleh asma, melainkan infeksi di dalam paru-paru atau kelainan struktur rongga hidung.
·         Pemeriksaan rotgen.

Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan CT Scan, yaitu untuk melihat apakah gangguan pernapasandisebabkan oleh kondisi lain.

Pengobatan Asma

Tujuan pengobatan asma adalah mengendalikan gejala dan mencegah timbulnya kembali serangan. Bagi sebagian besar penderita asma, obat-obatan dan metode pengobatan yang ada saat ini sudah terbukti efektif dalam menjaga agar gejala asma tetap terkontrol.

Untuk mendapatkan hasil yang efektif, dokter perlu menyesuaikan pengobatan dengan gejala-gejala asma yang muncul. Selain itu, pasien juga harus menjalani pemeriksaan secara rutin (minimal sekali dalam setahun) untuk memastikan pengobatannya cocok dan penyakit asma telah berada dalam kendali. Terkadang pasien membutuhkan tingkat pengobatan yang lebih tinggi pada jangka waktu tertentu.

·         Rencana penanganan asma.

Informasi mengenai obat-obatan harus disertakan di dalam rencana penanganan asma. Rencana penanganan ini juga bisa membantu Anda mengetahui kapan gejala bisa memburuk dan langkah apa yang harus diambil. Setidaknya sekali dalam setahun, rencana penanganan asma tersebut harus Anda tinjau ulang bersama dokter. Bahkan peninjauan secara lebih berkala perlu dilakukan jika gejala asma telah mencapai tingkat parah.

Anda mungkin akan disarankan untuk membeli peak flow meter (PFM) atau alat pengukur aliran ekspirasi puncak sebagai bagian dari pengobatan. Dengan cara ini Anda dapat memonitor asma Anda sendiri sehingga dapat mengetahui serangan asma lebih dini dan mengambil langkah penanganan yang perlu.

·         Obat-obatan asma yang disarankan.

Biasanya obat-obatan asma diberikan melalui alat yang disebut inhaler (obat hirup untuk asma). Alat ini dapat mengirimkan obat ke dalam saluran pernapasan secara langsung dengan cara dihirup melalui mulut. Menggunakan obat asma dengan cara dihirup dinilai efektif karena obat tersebut langsung menuju paru-paru. Kendati begitu, tiap inhaler bekerja dengan cara yang berbeda. Biasanya dokter akan mengajari Anda cara menggunakan alat tersebut dan melakukan pemeriksaan setidaknya sekali dalam setahun.

Selain inhaler, ada juga yang disebut sebagai spacer. Ini merupakan wadah dari logam atau plastik yang dilengkapi dengan corong isap di satu ujungnya dan lubang di ujung lainnya untuk dipasangkan inhaler. Saat inhaler ditekan, obat akan masuk ke dalam spacer dan dihirup melalui corong spacer itu sendiri. Spacer juga dapat mengurangi risiko sariawan di mulut atau tenggorokan akibat efek samping dari obat-obatan asma yang dihirup.

Spacer mampu meningkatkan jumlah obat-obatan yang mencapai paru-paru dan mengurangi efek sampingnya. Beberapa orang bahkan merasa lebih mudah memakai spacer ketimbang inhaler saja. Pada kenyataannya karena dapat meningkatkan distribusi obat ke dalam paru-paru, penggunaan spacer sering disarankan.

Sebagai bagian dari penanganan asma yang baik, penting bagi Anda untuk memastikan bahwa dokter atau apoteker mengajari cara menggunakan inhaler dengan benar.

Ada dua jenis inhaler yang digunakan dalam penanganan penyakit asma, yaitu:

a.       Inhaler pereda.

Inhaler pereda digunakan untuk meringankan gejala asma dengan cepat saat serangan sedang berlangsung. Biasanya inhaler ini berisi obat-obatan yang disebut short-acting beta2-agonist atau beta2-agonist yang memiliki reaksi cepat (misalnya terbutaline dan salbutamol). Obat ini mampu melemaskan otot-otot di sekitar saluran pernapasan yang menyempit. Dengan begitu, saluran pernapasan dapat terbuka lebih lebar dan membuat pengidap asma dapat bernapas kembali dengan lebih mudah. Obat-obatan yang terkandung di dalam inhaler pereda jarang menimbulkan efek samping dan aman digunakan selama tidak berlebihan. Inhaler pereda tidak perlu sering digunakan lagi jika asma sudah terkendali dengan baik. 

Bagi pengidap asma yang harus menggunakan obat ini sebanyak lebih dari tiga kali dalam seminggu, maka keseluruhan penanganan perlu ditinjau ulang.

b.      Inhaler pencegah.

Selain dapat mencegah terjadinya serangan asma, inhaler pencegah juga dapat mengurangi jumlah peradangan dan sensitivitas yang terjadi di dalam saluran napas. Biasanya Anda harus menggunakan inhaler pencegah tiap hari untuk sementara waktu sebelum merasakan manfaatnya secara utuh. Anda juga mungkin akan membutuhkan inhaler pereda untuk meredakan gejala saat serangan asma terjadi. Namun jika Anda terus-menerus membutuhkan inhaler pereda tersebut, maka penanganan Anda harus ditinjau ulang secara keseluruhan. Umumnya pengobatan pencegah disarankan jika Anda mengalami serangan asma lebih dari dua kali dalam seminggu, harus menggunakan inhaler pereda lebih dari dua kali dalam seminggu, atau terbangun pada malam hari sekali atau lebih dalam seminggu akibat serangan asma. Inhaler pencegah biasanya mengandung obat-obatan steroid seperti budesonide, beclometasone, mometasone, dan fluticasone. Merokok dapat menurunkan kinerja obat ini.

Jika asma tidak kunjung mereda oleh pengobatan di atas, dokter bisa meningkatkan dosis inhaler pencegah. Jika langkah ini tidak juga dapat mengendalikan gejala asma, biasanya dokter akan memberikan Anda tambahan obat yang disebut long-acting reliever atau obat pereda asma reaksi lambat (long-acting bronchodilator/long-acting beta2-agonist atau LABA).  Khasiatnya sama dengan obat pereda reaksi cepat, hanya saja kinerjanya butuh waktu yang lebih lama dan efeknya bisa bertahan hingga 12 jam. Contoh inhaler pereda reaksi lambat adalah salmeterol dan formoterol.

Dikarenakan  LABA juga tidak meredakan peradangan pada saluran napas penderita asma, obat ini dapat memperparah asma sembari menyembunyikan gejalanya. Hal ini meningkatkan kemungkinan serangan asma parah yang mungkin membahayakan jiwa penderita. Oleh karena itu selalu gunakan inhaler kombinasi atau inhaler yang dikombinasikan dengan steroid inhalasi dan bronkodilator jangka panjang dalam satu perangkat. 

·         Efek samping inhaler pereda dan pencegah.

Selama penggunaannya tidak melebihi dosis, inhaler pereda merupakan pengobatan yang aman yang tidak memiliki banyak efek samping. Efek samping yang mungkin muncul dalam penggunaan dosis tinggi di antaranya adalah sakit kepala kram otot, dan sedikit gemetar (tremor) pada tangan. Efek samping tersebut biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit.

Sama seperti inhaler pereda, penanganan asma dengan inhaler pereda juga terbukti sangat aman pada dosis reguler. Efek samping biasanya terjadi pada penggunaan dosis tinggi dan dalam penggunaan jangka panjang. Efek samping tersebut adalah infeksi jamur di dalam mulut atau tenggorokan yang disebut juga sebagai kandidiasis oral. Efek samping lainnya adalah suara Anda menjadi serak. Namun efek samping ini bisa dicegah jika Anda menggunakan spacer. Selain itu, dianjurkan untuk berkumur dengan air bersih setelah menggunakan inhaler pencegah.

Untuk penggunaan inhaler pereda reaksi lambat, efek samping yang mungkin muncul adalah sakit kepala, kram otot, dan sedikit gemetar pada tangan. Dokter biasanya akan menjelaskan kepada Anda mengenai manfaat dan risiko dari pengobatan tersebut. Biasanya kondisi Anda akan dipantau diawal pengobatan dan ditinjau ulang secara rutin. Jika penggunaan inhaler pereda reaksi lambat tidak kunjung meredakan asma Anda, hentikan secepatnya.

·         Langkah penanggulangan serangan asma dengan inhaler.

Jika tiba-tiba gejala asma Anda kambuh, lakukan tiga hal utama berikut. Yang pertama adalah segera keluarkan inhaler jenis pereda dan isap sebanyak 1 atau 2 kali. Setelah itu, lakukan langkah kedua dengan cara duduk tenang dan cobalah bernapas secara stabil. Apabila gejala asma masih belum mereda, maka lakukan langkah ketiga dengan cara mengisap inhaler Anda kembali sebanyak 2 kali (atau hingga 10 kali jika diperlukan) tiap dua menit sekali.

Apabila seluruh langkah tersebut tetap tidak meredakan gejala asma dan Anda khawatir kondisi bisa menjadi lebih buruk, maka segera telepon ambulans atau minta orang-orang di sekeliling Anda untuk membawa Anda ke rumah sakit. Sebelum Anda benar-benar mendapatkan penanganan rumah sakit, ulangi terus langkah ketiga.

·         Obat-obatan asma lainnya.

Selain dengan inhaler, penanganan asma juga bisa dilakukan dengan obat-obatan seperti:

a.       Steroid oral.

Tablet steroid mungkin akan diresepkan dokter jika asma Anda masih belum bisa dikendalikan. Pengobatan ini biasanya dipantau oleh dokter spesialis paru yang menangani penderita asma karena jika digunakan secara jangka panjang (misalnya lebih dari tiga bulan), berisiko menyebabkan efek samping tertentu, seperti hipertensi, kenaikan berat badan, otot melemah, pengeroposan tulang, kulit menipis dan mudah memar. Selain itu, efek samping yang lebih serius yang bisa saja terjadi adalah katarak dan glaukoma.

Oleh karena itu pengobatan dengan steroid oral hanya dianjurkan jika Anda telah melakukan cara pengobatan lainnya, namun belum berhasil. Sebagian besar orang hanya perlu menggunakan steroid oral selama 1-2 minggu dan sebagai obat tambahan untuk menangani infeksi tambahan (seperti infeksi pada paru).

Biasanya mereka akan kembali ke pengobatan sebelumnya setelah asma dapat dikendalikan. Sebaiknya Anda rutin memeriksakan diri agar terhindar dari osteoporosis, diabetes, dan tekanan darah tinggi.

b.      Tablet theophylline.

Obat yang bisa difungsikan sebagai obat pencegah gejala asma ini bekerja dengan cara membantu melebarkan saluran napas dengan melemaskan otot-otot di sekelilingnya. Pada sebagian orang, tablet theophylline diketahui menyebabkan efek samping, seperti mual, sakit kepala, muntah, insomnia,dangangguan perut. Namun hal ini biasanya dapat dihindari dengan penyesuaian dosis.

c.       Tablet leukotriene receptor antagonist (montelukast).

Obat ini bekerja dengan cara menghambat bagian dari reaksi kimia yang menyebabkan radang di dalam saluran pernapasan. Sama seperti theophylline, obat ini digunakan untuk mencegah gejala asma. Leukotriene receptor antagonist dapat menimbulkan efek samping berupa sakit kepala dan gangguan perut.

d.      Ipratropium.

Meski lebih banyak diresepkan pada kasus bronkitis kronis dan emfisema, ipratropium juga bisa digunakan untuk menanggulangi serangan asma. Obat ini mampu memperlancar aliran pernapasan dengan cara melemaskan otot-otot saluran pernapasan yang mengencang ketika gejala asma kambuh.

e.       Malizumab.

Obat ini mampu menurunkan risiko terjadinya peradangan saluran pernapasan dengan cara mengikat salah satu protein yang terlibat di dalam respons imun dan mengurangi kadarnya pada darah. Umumnya, omalizumab direkomendasikan bagi penderita yang menderita asma karena alergi dan sering mengalami serangan asma. Sebagai obat yang biasanya hanya diresepkan oleh dokter spesialis, omalizumab diberikan dengan cara disuntikkan tiap 2-4 minggu sekali. Penggunaan omalizumab harus dihentikan jika obat ini tidak berhasil mengendalikan asma dalam kurun waktu enam belas minggu.

f.       Bronchial thermoplasty.

Ini merupakan prosedur pengobatan asma baru yang masih terus diteliti dan belum tersedia di Indonesia. Dalam beberapa kasus, prosedur ini digunakan untuk mengobati asma parah dengan cara merusak otot-otot sekitar saluran napas yang dapat mengurangi penyempitan pada saluran pernapasan. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa prosedur ini dapat mengurangi serangan asma dan memperbaiki kualitas hidup penderita asma parah. Kendati begitu, keuntungan maupun kerugian secara jangka panjangnya belum sepenuhnya diketahui.

·         Metode pengobatan yang sifatnya pelengkap.

Latihan pernapasan merupakan metode pelengkap pengobatan penyakit asma yang paling disarankan. Dan ada bukti bahwa metode ini dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan obat-obatan pereda pada sebagian orang. Latihan pernapasan bisa meliputi yoga, teknik pernapasan Buteyko, dan teknik pernapasan yang diajarkan fisioterapis.

Selain latihan pernapasan, metode pengobatan pelengkap lainnya adalah:

a.       Akupunktur.
b.      Obat herbal tradisional Tiongkok.
c.       Homeopati.
d.      Terapi suplemen oral.
e.       Hipnosis.
f.       Terapi Ionisasi.
g.      Chiropractic.

Walau demikian, di antara semua pengobatan pelengkap yang telah disebutkan, hanya latihan pernapasan yang terbukti efektif mengurangi gejala dan kebutuhan penderita akan obat asma. Untuk terapi pelengkap lainnya, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut akan efeknya terhadap penyakit asma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar